Mardiana: Bali Butuh RPU Untuk Stabilkan Harga Daging

(Dutabalinews.com),Adanya permainan dagang mengakibatkan harga daging ayam fluktuatif. Misal, harga daging di tingkat peternak Rp22 ribu per ekor sedangkan di pasar bisa Rp38 ribu per ekor. Padahal harga eceran tertinggi Perindag Rp34 ribu per ekor.

Naik turunnya harga ayam ini bisa juga disebabkan karena kehadiran “tukang ngejuk” ayam. Misal ayam yang awalnya dibeli dengan harga Rp21 ribu per ekor di tingkat peternak, dijual pada tukang potong Rp24 ribu per ekor dan tukang potong menjualnya ke pengecer Rp30 ribu.

“Dan di tingkat konsumen menjadi Rp36 ribu hingga Rp 38 ribu per ekor. Mereka inilah sebenarnya yang jadi penyebab harga daging ayam kerap fluktuatif,” ucap Kepala Dinas Peternakan Provinsi Bali I Wayan Mardiana, Kamis (9/5/2019) di Denpasar.

Menurutnya kegiatan para bakul ayam ini mirip kartel atau mafia. Pasalnya mereka selalu bersepakat dalam menjalankan aksinya. Mereka yang menentukan harga ayam di tingkat peternak. Misal, mereka bersepakat mengambil harga ayam di Jembrana Rp20 ribu per ekor, tapi kalau tidak dikasih, dibiarkan saja sehingga peternak akan rugi.

Menurut Mardiana ada sebetulnya cara untuk menghilangkan peran para bakul ayam tersebut agar harga stabil. Syaratnya pemerintah harus menyediakan Rumah Potong Unggas (RPU) sendiri. Jadi peternak bisa langsung membawa ayamnya ke rumah potong tersebut, berapa mesti mereka bayar per ekornya apakah seribu, dua ribu. “Cara ini paling efisien. Beban peternak hanya biaya angkut dan biaya potong, selebihnya bisa langsung dinikmati peternak atau petani,” tuturnya.

Namun yang terjadi sekarang yaitu ayam dipotong di rumah-rumah penduduk melalui tukang bakul ayam. Punya 50 ekor di potong di rumah sendiri, mestinya dipotong di RPU. “Saat ini kita sedang merencanakan dan melakukan kajian pembangunan RPU di Badung dan Denpasar. Jadi kelak keberadaan tukang juk ayam atau bakul ayam yang menjadi penyebab naiknya harga ayam, lambat laun akan hilang,” kata Mardiana.

Di sisi lain Mardiana juga mengeluhkan tidak adanya rekomendasi penerimaaan sebagai syarat masuknya daging atau unggas dari pulau Jawa ke Bali. Padahal Karantina selaku garda terdepan masuknya pengiriman di Gilimanuk tidak mau merekomendasikan pemasukan sebagai syarat pengiriman daging.

“Bayangkan pernah ada 9 ribu ekor kambing dari Situbondo masuk ke Bali, pihak Karantina tidak mau mensyaratkan penerimaannya, tapi cukup dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) sudah bisa memasukkan hewan ke Bali. Yang dikwatirkan ketika banyak ternak masuk ke Bali, lantas ada yang terjangkit penyakit, tentu akan menjadi tanggung jawab Dinas Peternakan, sedangkan Karantina wewenangnya hanya sampai di pelabuhan saja,” ungkapnya.

Mardiana mengungkapkan, Bali kerap jadi serbuan pasar dari daerah lain. Misal, ketika harga daging ayam di Bali bagus, di Jawa Timur harga daging atau unggas anjlok, larinya ke Bali. (abt)

Berikan Komentar