Ekonomi & Bisnis

Gedung IPSA Pak Oles, Meneliti Pertanian Organik dan Teknologi EM

(Dutabalinews.com),Sebuah gedung megah berdiri kokoh di tepi jalan utama desa. Bangunan berarsitektur tradisional Bali berlantai dua itu saban hari terasa sejuk. Setiap pengunjung ditawari pesona dan panorama alam yang subur, sebuah perpaduan lembah dan bukit yang hijau nan lestari.

Itulah secuil potret gedung Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali yang berlokasi di Desa Bengkel, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng. Gedung yang berdiri sejak tahun 1997 tersebut biasanya difungsikan untuk mengadakan penelitian dan pelatihan bagi peserta yang datang dari berbagai daerah di Indonesia serta luar negeri. Bidikan materi seputar pertanian organik dan teknologi Effective Microorganisme (EM).

Lembaga pelatihan itu dibangun dalam satu kawasan dengan pabrik industri obat tradisional (IOT) dan pabrik pupuk cair EM4 itu, sejak awal membina dan melatih generasi muda maupun utusan dari organisasi dan berbagai kalangan lainnya yang cinta terhadap pertanian dan lingkungan yang kini jumlahnya sudah mencapai ribuan peserta, tutur Direktur Utama PT Karya Pak Oles Group, Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr.

Alumnus Faculty Agriculture University of The Ryukyus Okinawa, Jepang itu membangun IPSA secara bertahap, kini dilengkapi dengan vila berkapasitas 15 kamar serta fasilitas kolam renang berukuran 8 x 10 meter.

Sebelum pandemi Covid-19, daerah pesisir utara Pulau Bali berkembang sebagai daerah pariwisata Bali, karena kecenderungan wisatawan mancanegara mengunjungi daerah-daerah baru yang belum pernah mereka sentuh dalam liburan di Bali, sehingga vila IPSA juga dimanfaatkan sebagai tempat pemondokan pelanjang.

Fungsi ganda IPSA itu berlanjut di masa masa new normal ini untuk siap menggelar acara reunion dan temu kangen dengan peserta 15-150 orang. Acara dikemas sambil rekreasi di bawah naungan pepohonan sambil menikmati hidangan makan siang dan dua kali minum kapi atau teh herbal. Peserta juga dapat menggunakan fasilitas berupa kolam renang berukuran 8 x 10 meter serta jalan-jalan di kebun tanaman obat di atas hamparan seluas 8 hektar yang mengoleksi sekitar 315 jenis tanaman herbal.

Reuni dan temu kangen kini menjadi tren untuk mengobati kerinduan setelah puluhan atau belasan tahun tidak bertemu sesama teman ketika menuntut ilmu di bangku sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) maupun perguruan tinggi.

Baca Juga :   Pak Oles: Pemimpin Harus Fokus, Ibarat Pemanah

IPSA Bali mengantisipasi semua itu dengan menyiapkan fasilitas yang memadai. Paket tambahan berupa mengikuti kegiatan meditasi dan traking untuk menikmati suasana pedesaan yang asri, menyusuri jalan setapak melintasi lahan pertanian, perkebunan berundag-undag serta menyeberang sungai kecil yang airnya baru keluar dari sumbernya sehingga jernih dan dingin.

Rintisan IPSA Bali juga bertujuan untuk mengembangkan ratusan jenis tanaman obat secara organik untuk diracik menjadi Minyak Oles Bokashi (MOB), Minyak Tetes Bokashi dan puluhan jenis produk lainnya yang mempunyai khasiat untuk memelihara kesehatan tubuh yang prima.

Awalnya merintis tanaman obat dengan menanam 20 jenis yang kemudian terus ditambah hasil “buruan” ke berbagai daerah di Bali maupun luar Bali, dipadukan dengan pengetahuan yang diperoleh dari lontar tentang pengobatan (usada Bali), ternyata banyak tanaman liar yang tumbuh mempunyai khasiat sebagai obat.

Setiap hari dilakukan penambahan koleksi tanaman obat dari 20 jenis menjadi 108 jenis dan sejak tahun 2000 menjadi 315 jenis ditanam di atas hamparan seluas 8 hektar didukung dengan sistem pengairan tradisional dalam pertanian (subak) serta perawatan dengan pupuk organik padat Bokashi Kotaku dan pupuk cair EM4.

Pengembangan ratusan jenis tanaman obat sekaligus dibudidayakan itu sempat dikerjakan langsung oleh Pak Oles dengan dibantu tiga orang yang merawat tanaman herbal sebagai bahan baku Minyak Oles Bokashi, Minyak Tetes Bokashi dan puluh produk ramah lingkungan telah menembus pasaran lokal di Bali, nasional dan pasaran mancanegara.

Kebun tanaman obat organik yang tertata apik dan serasi sesuai jenisnya itu sempat menarik perhatian dua guru besar dari Tokyo University of Agriculture (Tokyo Nogyo Daigaku) yakni Prof Dr Yamaguchi (Emeritus Prof) dan Prof Dr Rie Miyaura dari Faculty of International Agriculture and Food Studies yang melihatnya dari dekat pada akhir Agustus 2019 lalu.

Kunjungan kedua guru besar tersebut diantar seorang mahasiswa asal Bali yakni Komang Wibhuti Emriko yang sedang menyelesaikan program pascasarjana S-2 di perguruan tinggi tersebut untuk melakukan penelitian tentang Etnobotany, khususnya bisnis minyak bokashi, sejarah penemuan, industri dan pemasaran. Komang Wibhuti Emriko, anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Gede Ngurah Wididana-Komang Dyah Setuti sedang menyelesaikan pendidikan bidang Agribisnis Managemen di Tokyo Universiti mendapat kesempatan untuk mengantar kedua profesor melakukan penelitian di Pulau Dewata.

Baca Juga :   Menuju Kepuasan Konsumen: Transformasi PT Yili Indonesia Dairy dalam Membuat Es Krim JOYDAY yang Berkualitas

Pak Oles bersama mahasiswa yang juga putrinya itu mengantar kedua profesor keliling kebun di atas hamparan seluas delapan hektar yang mengoleksi 315 jenis tanaman obat. Hamparan kebun yang menyatu dengan pabrik Minyak Oles Bokashi (MOB) dan pabrik pupuk cair ramah lingkungan teknologi effective Microorganisme (EM) diharapkan nantinya bisa menjadi pengembangan industri herbal terbesar di Indonesia. Di tengah perkebunan tanaman obat yang rimbun itulah Pak Oles beserta putrinya Komang Wibhuti Emriko menjamu makan siang kedua tamunya Prof. Dr. Yamaguchi (Emeritus Prof) dan Prof. Dr. Rie Miyaura selesai melakukan penelitian.

Menu makanan yang disajikan pada siang hari itu khusus menu masakan tradisional Bali berupa lalapan herbal sambal kemiri, sop batang pisang muda (jukut ares), ayam kampung goreng serta menu herbal yang rasanya enak dan sedap. Kedua dosen asal negeri Sakura itu mengaku sangat terkesan dengan gagasan dan bisnis produk pertanian berdasarkan etno farmakology sebagai pusaka warisan leluhur dari obat tradisional jamu yang diprakarsai nenek Pak Oles Dadong Bandung. Semoga penelitian Prof. Yamaguchi dan Prof. Miyaura bisa membangkitkan gairah untuk menggali kembali kearifan lokal (lokal genius) pengobatan herbal di seluruh dunia. (ist)

Berikan Komentar