Buntut Penutupan Asram di Karangsem, Bhabinkamtibmas Subagan Buat Surat Permohonan Maaf
(Dutabalinews.com), Pascapenutupan Asram Yayasan ISKCON di Karangasem, Bhabinkamtibmas Kelurahan Subagan Polsek Karangasem, Polres Karangasem I Gede Alit S.Sos. menyampaikan surat permohonan maaf kepada I Dewa Anom S.Sos. selaku Penjaga Asram Yayasan ISKCON – Indonesia dan Yayasan ISKCON – Indonesia. Surat permohonan maaf diserahkan kepada Dr. Dewa Krisna Prasada, M.H selaku kuasa hukum pelapor di Denpasar, pada Minggu, 6 Juli 2025.
“Saya menyesali perbuatan tersebut dan berjanji tidak akan mengulangi tindakan serupa di kemudian hari, serta berkomitmen untuk menghormati kebebasan beribadah dan hak asasi setiap warga negara sebagaimana dijamin oleh UUD 1945,” tulis Gede Alit dalam surat permohonan maafnya.
Dalam surat tersebut disampaikan permintaan maaf atas tindakan yang dilakukan pada Senin, 9 Juni 2025 di area tempat suci Asram Yayasan ISKCON – Indonesia di Desa Adat Subagan, Kecamatan Karangasem, berupa Pertama, memasuki area tempat suci tanpa izin pengelola, Kedua, meminta identitas (KTP) di luar prosedur.
Laporan peristiwa itu sudah ditembuskan kepada Presiden Republik Indonesia, Ketua DPR RI, Komnas HAM Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Kabareskrim Mabes Polri, Kapolda Bali, Direskrim Polda Bali, Inspektorat Daerah Kepolisian Polda Bali, Dirpropam Kepolisian Polda Bali dan Kabinkum Kepolisian Polda Bali di Denpasar.
Dr. Dewa Krisna Prasada sebagai Kuasa Hukum Pelapor, I Dewa Anom, S.Sos. menegaskan agar menjaga toleransi dan kehidupan berkeyakinan sehingga bisa melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Begitu juga kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal itu agar tidak bertentangan dengan Pancasila maupun Pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu, hak-hak dasar mereka baik secara sosial, politik, budaya dan ekonomi serta kebebasan beragama termasuk dalam hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat ditawar-tawar (non-derogable rights). Negara memiliki tanggung jawab melindungi hak-hak tersebut sebagaimana termaktub dalam Piagam PBB dan secara khusus di Indonesia sesuai dengan Pasal 27, 28, 29, 30, dan Pasal 31 UUD NRI 1945.
Untuk kasus itu bisa kena tindak pidana, pihaknya mengacu pada Pasal 1 ayat (1) KUHAP, yang mendefinisikan “Tindak pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana menurut peraturan perundang-undangan”. Selain itu, Pasal 335 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, ancaman kekerasan, atau dengan menimbulkan ketakutan, baik terhadap diri orang itu sendiri maupun orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Tindakan tersebut di atas diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum, antara lain Pasal 28 G, ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD RI Tahun 1945, Pasal 156a , Pasal 167, Pasal 170, Pasal 310 dan 335 KUHP, dan Pasal 422 KUHP. Bahwa Pasal 28G ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 juga menentukan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam Pasal 156a KUHP menentukan bahwa “Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; atau b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun”.
Selanjutnya dalam Pasal 167 KUHP menentukan bahwa “Barang siapa dengan melawan hukum memasuki rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain, atau yang ada di situ dengan tidak berhak, dan tidak segera pergi setelah diperintahkan oleh atau atas nama orang yang berhak, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Pasal 170 KUHP menegaskan bahwa: “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”
Pasal 310 KUHP menegaskan bahwa: “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Pasal 335 ayat (1) KUHP menegaskan: “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, ancaman kekerasan, atau dengan menimbulkan ketakutan, baik terhadap diri orang itu sendiri maupun orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Dan Pasal 422 KUHP menentukan bahwa “Pejabat yang dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabatnya memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Kuasa Hukum Dewa Krisna juga bersepakat dalam mengambil tindakan inteloransi, radikalisme, dan langkah hukum jika diperlukan. “Pihak pelapor Dewa Anom tidak perlu khawatir lagi melakukan keyakinan sebagaimana mestinya, kami sudah sepakat dengan pihak kepolisian secara musyawarah,” ungkapnya.
Sebelumnya, pada tanggal 9 Juni 2025, sekitar pukul 09.00 WITA, di area tempat suci Asram, Desa Adat Subagan, Kabupaten Karangasem, sekelompok individu yang terdiri dari NR, CSA, IGA memasuki area tanpa izin pengelola. Mereka mengintimidasi pelapor dengan menanyakan atribut persembahyangan yang belum diturunkan dan meminta KTP secara tidak prosedural, yang dianggap sebagai persekusi. Pelapor menyatakan bahwa ia berada di lokasi sebagai pelajar dan tidak berani menurunkan atribut tersebut karena menghormati nilai sakral.
Kelompok tersebut memaksa I Ketut Sukiadi, pemilik tanah untuk menandatangani surat yang ditolaknya atas saran anaknya. Selain itu, atribut persembahyangan, termasuk foto Parwa Dewa-Dewa, Kitab Suci, genta, tempat tirta, guci, dan alat lainnya dipindahkan secara sembarangan oleh kelompok tersebut, dengan dalih bahwa mereka hanya membantu I Ketut Sukiadi.
Tindakan ini diduga melanggar Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama, karena atribut tersebut memiliki nilai sakral bagi umat Hindu, termasuk pelapor. Tidak ada bukti bahwa pemindahan tersebut dilakukan dengan izin pengelola tempat suci, sehingga tindakan ini bersifat melawan hukum. Maka dari itu, pihaknya telah melakukan Laporan Dugaan Tindak Pidana Persekusi, Intimidasi, dan Pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama kepada Kapolres Karangasem pada tanggal 15 Juni 2025.
Terkait perkembangan kasus Penutupan Asram di Amlapura, Karangasem, pihaknya menyampaikan informasi berdasarkan surat resmi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polres Karangasem, dengan nomor B/161/VI/RES.1.24./2025/Reskrim dan nomor B/294/VI/RES.1.24./2025/Reskrim telah diterbitkan surat panggilan klarifikasi pelapor yaitu Dewa Anom perwakilan dari Organisasi ISKCON-INDONESIA yang ada di tempat kejadian perkara persekusi guna memberikan keterangan dalam rangka penyelidikan kasus yang dilaporkan.
Proses ini tentunya merupakan lanjutan dari Laporan Informasi dengan Nomor: LI/125/VI/2025/Reskrim dan dilanjutkan dengan Surat Perintah Tugas Penyelidikan Nomor: SP.Lidik/482/VI/RES.1.24./2025/Reskrim pada tanggal 16 Juni 2025. “Proses hukum masih berjalan dan kami menghormati setiap langkah yang diambil oleh pihak kepolisian sesuai prosedur yang berlaku,” kata Dr. Dewa Krisna Prasada didampingi Dr. Febriansyah Ramadhan, I Gede Druvananda Abhiseka, I Gusti Agung Kiddy Krsna dan I Ketut Dody Arta Kariawan.
Ia juga menegaskan bahwa Dewa Anom selaku pelapor yang mewakili organisasi senantiasa kooperatif dan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Dalam hal ini, pihaknya berharap seluruh pihak, termasuk media dan masyarakat, dapat menghormati asas praduga tak bersalah dan memberikan ruang bagi aparat penegak hukum untuk bekerja secara profesional dan objektif.
Ia mengapresiasi perhatian publik terhadap kasus ini dan akan terus memberikan informasi yang akurat dan transparan seiring dengan perkembangan lebih lanjut. “Kami percaya bahwa kebenaran akan terungkap melalui proses hukum yang adil dan terbuka,” pungkasnya.
Atas tindakan dilakukan hari Senin, 9 Juni 2025 di area tempat suci Asram Yayasan ISKCON – Indonesia di Desa Adat Subagan, Kecamatan Karangasem, Kab. Karangasem berupa 1) Memasuki area tempat suci tanpa izin pengelola, 2) Meminta Identitas (KTP) di luar prosedur, 3) Menimbulkan rasa tidak nyaman, ketakutan, dan tekanan psikologis kepada pihak Asram dan jemaah, 4) Melakukan tindakan di luar kewenangan saya sebagai aparat pembina keamanan desa. (ist)