Waspadai Musim Hujan, Bali Perlu Perkuat Tata Ruang dan Restorasi DAS

KINI Indonesia memasuki musim penghujan. Bahkan di beberapa daerah di tanah air, mulai tergenang air hujan, dikarenakan intensitas hujan di atas normal.

Menurut BMKG, pada bulan November ini, curah hujan di Indonesia bervariasi. Namun di wilayah Jabodetabek, hujan akan turun dengan intensitas sedang hingga lebat.

Bagaimana dengan curah hujan di Bali? Tentu saja pertanyaan ini banyak muncul di tengah masyarakat Bali. Trauma banjir bandang sepuluh September lalu, masih menghantui sebagian besar waga pulau Dewata.

Fakta di lapangan menunjukkan, pasca musibah luar biasa dengan puluhan korban nyawa dan miliaran materi, belum ada perbaikan signifikan terhadap faktor penyebab banjir bandang tersebut.

Sementara itu, pansus yang dibentuk Pemprov Bali, menemukan begitu banyak pelanggaran tata ruang dan pemanfaatan lahan milik pemerintah di seluruh Bali.

Pelanggaran yang paling dominan terjadi di wilayah pariwisata Kabupaten Badung. Masyarakat Bali sangat berharap, agar semua bentuk pelanggaran tersebut ditindak sesuai peraturan yang berlaku.

Sudah dapat dipastikan bahwa pelanggaran terhadap tata ruang wilayah, membawa dampak besar bagi kualitas lingkungan yang berkelanjutan.

Di beberapa wilayah permukiman penduduk, banyak sekali ditemukan saluran irigasi/drainase yang tak berfungsi dengan baik.

Sungai dan daerah aliran sungai di Bali mengalami kerusakan amat parah. Dan ketika hujan turun dengan intensitas sedang saja, air akan meluap liar kemana-mana.

Lalu, banjir menerjang wilayah -wilayah pada permukiman. Selain menggenang sepanjang jalan wilayah perkotaan.

Kembali pada estimasi hujan November (November rain), yang membuat sebagian warga cemas. Prakiraan BMKG, Bali akan alami curah hujan dengan intensitas ringan, dan sedang. Namun, informasi yang sempat beredar, potensi hujan di Bali tetap harus diwaspadai.

Secara swadaya dan atau kolektif, warga masyarakat mesti lebih siaga. Mulailah proaktif menyisir pekarangan rumah, got dan selokan kecil di depan rumah. Pastikan saluran air tersebut berfungsi dengan baik.

Pada sisi lain, pemerintah sepantasnya merangkul semua stakeholder untuk bersinergi dalam upaya menyelamatkan alam Bali.

Mengingat banyaknya daeran aliran sungai (DAS) yang tidak berfungsi maksimal, sebaiknya dibuat program normalisasi DAS. Selain mencegah dan menindak pelanggaran pemanfaatan DAS, perlu dilakukan pengerukan.

Baca Juga :  Bali Megarupa III Hadirkan Karya 107 Seniman, Digelar di Empat Lokasi

Aksi ini mestinya dilaksanakan secara reguler di setiap DAS. Dan satu program yang sangat penting serta strategis adalah menanam bambu di setiap kawasan daerah aliran sungai.

Secara paralel, pemerintah semestinya menginisiasi hadirnya komunitas DAS/komunitas pelestari sungai, yang akan merawat dan menjaga kawasan sungai.

Terkait dengan pemikiran tersebut, penulis sebagai Ketua Yayasan Tamiang Bali Mandiri dan inisiator Agro Learning Center bekerja sama dengan Yayasan Bambu Alam Sejahtera (BAS), Forum Pekaseh Agung DAS Pakerisan, Kelompok Pecinta Bambu Desa Mantring, Pengurus AMPIK Cendekia, telah mengawal program restorasi DAS.

Dan pada Hari Lingkungan Hidup lalu, memulai menanam bambu di atas lahan seluas tiga hektar, berlokasi zona tengah DAS Pakerisan.

Menurut ahli bambu Dr. Diah Kencana, yang juga Ketua Yayasan Bambu Alam Sejahtera, gerakan menanam bambu mesti dilakukan dengan masif di wilayah wilayah kritis air.

Pemda Bali mesti sungguh sungguh menjadikan kegiatan menanam bambu ini sebagai sebuah program berkelanjutan.

Pendampingan kepada komunitas pembudidaya bambu, amat diperlukan agar tanaman bambu memberikan manfaat maksimal, baik untuk konservasi, pendukung budaya dan manfaat ekonomi.

Semuanya diperuntukkan demi menjaga kelestarian alam, mempertahankan eksistensi budaya dan mensejahterakan warga.

Menanam bambu adalah aksi nyata menyelamatkan alam Bali. Semoga semakin banyak muncul komunitas penjaga sungai dan pembudidaya bambu. *Oleh: Nyoman Baskara, Ketua Yayasan Tamiang Bali Mandiri