Politik

Diskusi Revisi RTRW, Pertanian Bisa Lenyap Akibat Tingginya Alih Fungsi Lahan

(Dutabalinews.com),
Alih fungsi lahan di Bali cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Dalam setahun rata-rata terjadi alih fungsi lahan pertanian hingga 600 hektar lebih. Kondisi lahan juga makin diperparah dengan terjadinya abrasi di sana-sini.

“Kalau alih fungsi yang begitu besar tak bisa diantisipasi, dalam waktu sepuluh tahun lahan pertanian akan habis. Memang kita masih bisa beli beras, tapi mana pangan asli Bali kalau lahannya sudah tidak ada,” ujar peserta diskusi “Membedah Revisi RTRW Bali dari Perspektif Pelestarian Lingkungan” yang digelar di Kantor Kompas Jalan Jayagiri Denpasar, Jumat (22/2) sore.

Menurut nara sumber Made Arca Eriawan dari KAP (Kelompok Ahli Pembangunan) Bali dalam diskusi yang digelar Komunitas Jurnalis Lingkungan (SIEJ) Bali dengan menghadirkan nara sumber Made Iwan Dewantama (CI Bali) dan Dr. Hendrawan (FKP Unud), tantangan Bali ke depan cukup kompleks. Bali selain menghadapi masalah kependudukan, sosial budaya juga kendala lahan.

Dengan penduduk yang terus membengkak, Bali juga terancam kekurangan air baku yang bisa berdampak pada kebutuhan untuk air minum dan irigasi. Sementara banyak air yang terbuang percuma ke laut. Dikatakan banyak problem yang dihadapi Bali ke depannya. Di antaranya luas Bali yang terus berkurang, tingginya penyusutan lahan pertanian, terjadinya ketimpangan pengembangan Bali selatan, utara, timur dan barat.

Juga ketergantungan Bali yang begitu besar terhadap pariwisata dan belum meratanya harga barang. “Misalnya harga bahan bangunan seperti semen di Nusa Penida sangat tinggi akibat belum lancarnya kapal penyeberangan. Barang harus diangkut manusia menuju kapal sehingga menambah cost,” jelas Arca.

Dari sisi lingkungan, ia memaparkan proporsi hutan baru mencapai 23 persen dari target keseimbangan 30 persen. Yang mengkhawatirkan alih fungsi lahan rata-rata mencapai 661 hektar/tahun serta tingginya abrasi dan ancaman sampah. Alih fungsi lahan yang tinggi bisa menyebabkan pertanian lenyap.
Meningkatnya jumlah penduduk juga menjadi masalah karena ke depannya butuh perluasan permukiman.

Bahkan belakangan mencuat adanya permintaan perubahan tinggi bangunan yang tidak terlepas akibat mahalnya harga lahan. “Migrasi penduduk ke Bali juga tinggi dan penduduk yang makin heterogen yang berdampak pada sosial dan budaya,” tambahnya.

Mengacu kondisi yang ada, terkait revisi RTRW, menurut Arca kalau memang diperlukan bisa dilakukan perubahan. “Aturannya tiap 5 tahun bisa dirubah. Tapi kalau masih bisa dipakai gak perlu dirubah,” jelasnya. Arca yang banyak berbicara tentang Tata Ruang Bali mengatakan konsep filosofis tak bisa diterapkan dalam tataran praktis. Untuk itu harus ada peluwesan-peluwesan dalam implementasinya di lapangan.

Sementara Made Iwan Dewantama dari konservasi internasional mengatakan saat ini tata ruang bermasalah karena banyaknya pelanggaran. Bahkan lingkungan tambah rusak. “Padahal kita hidup dari lingkungan,” ujarnya mengingatkan.

Dr. Gede Hendrawan dari Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Unud menyoroti kondisi mangrove. Ia mengingatkan keberadaan mangrove sangat vital dalam kaitan dengan pariwisata. “Kalau laut tak dijaga maka akan terjadi bencana. Jadi RTRW bukan hanya menyangkut ekonomi tapi keberlanjutan alam Bali,” pesannya. (bas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *