Sidang BPR SU, Ahli Pidana Sebut Penyimpangan SOP oleh Pimpinan Bank Merupakan Pidana

(Dutabalinews.com),I Wayan ‘Gendo’ Suardana, SH, I Ketut Sedana Yasa, SH dan I Wayan Adi Sumiarta, SH., M.Kn, dari Gendo Law Office hadir sebagai kuasa hukum terdakwa NWPLD yang merupakan mantan teller PT. BPR SU pada sidang di PN Gianyar,, Selasa ( 21/4/2020).

Sidang dengan agenda menghadirkan ahli pidana Dewi Bunga, SH., MH. dipimpin Ketua PN Gianyar Ida Ayu Sri Adriyanthi AW didampingi Wawan Edy Prasetyo dan Ni Luh Putu Pratiwi sebagai hakim anggota.

Ahli menjelaskan bahwa mekanisme untuk menjamin suatu alat bukti elektronik sehingga dapat dijamin keutuhannya secara hukum dalam praktiknya diperiksa dalam Laboratorium Kriminal. Atas keterangan tersebut, Gendo langsung memberikan pertanyaan kepada ahli terkait dengan barang bukti simulasi yang digunakan untuk menjerat kliennya dalam persidangan oleh PT. BPR SU.

“Bagaimana kekuatan hukum dari alat bukti yang berupa dokumen elektronik hasil cetakan yang ditunjukkan dalam suatu persidangan namun diakui sebagai simulasi,” tanya Gendo. Pertanyaan tersebut dijawab “Tidak memenuhi karena simulasi bukan digunakan melakukan tindak pidana, bukan merupakan hasil tindak pidana, juga tidak memiliki hubungan khusus dengan tindak pidana,” ujarnya.

Lebih lanjut, Gendo mengajukan pertanyaan kepada ahli apabila ada surat pernyataan diajukan sebagai barang bukti, bagaimana pembuktian secara hukum sehingga sah? Ahli menjelaskan bahwa surat pernyataan yang dibubuhi materai bukan berarti sebagai alat bukti karena surat pernyataan hanya mengikat pihak yang membuat. Jika pembuatan surat pernyataan tersebut ada unsur paksaan, maka dapat dipidana. “Apabila dipaksa (orang yang membuat surat pernyataan), orang yang memaksa dapat dipidana”, tegasnya.

Lebih jauh, ahli menegaskan bahwa apabila terjadi tindak pidana perbankan dalam hal ini sistem perbankan, maka terjadi pertanggungjawaban berjenjang dalam hal ini pimpinan bank tersebut. Pimpinan dapat bertanggung jawab secara hukum pidana. Hal tersebut ditanggapi oleh Gendo apabila pimpinan yang diberikan kewenangan pengawasan membiarkan terjadi suatu kejahatan apa bisa disebut tindak pidana perbankan” tanyanya. Ahli menjawab iya, karena pimpinan dalam perbankan yang ada dalam Standard Operational Procedure (SOP) memiliki tugas pengawasan.

Ahli juga menjelaskan bahwa SOP tidak boleh disimpangi karena masing-masing memiliki tanggung jawab melaksanakan pekerjaan sesuai SOP. Sehingga penyimpangan tersebut melawan aturan perusahaan, hukum bahkan Undang-Undang. Atas pernyataan tersebut, Gendo bertanya apa konsekuensi dari penyimpangan SOP secara sadar? Ahli menjawab pimpinan yang bertanggung jawab terhadap kinerja tersebut itu dipertanggung jawabkan secara hukum.

Gendo menanyakan apakah yang menjadi ukuran daya paksa, misalkan ada pegawai yang diperintah atasannya dan tidak ada cctv yang merekan kejadian tersebut ataupun tidak ada saksi yang melihat kejadian tersebut. Pegawai tersebut sudah protes namun pimpinan tetap memaksa atas nama kewenangan.

“Apakah contoh saya itu berkualifikasi overmacht (keadaan memaksa)?”. Ahli menjelaskan bahwa ukuran daya paksa adalah kekuasaan yang tidak bisa dilawan karena ketidakberdayaan bawahannya, karena pimpinan memiliki kewenangan atau pegawai memiliki itikad baik dalam melaksanakan pekerjaannya. “Semua ini adalah dari alasan penghapus pidana,”
tegasnya. Sidang dilanjutkan kembali pada hari Kamis, 23 April 2020 dengan agenda pemeriksaan mantan teller NWPLD. (gen)

Berikan Komentar