Kisruh Pemilik Lahan Dengan Yayasan, SMA PGRI 2 Disegel
(Dutabalinews.com), Di tengah SMA PGRI 2 Denpasar memperingati HUT ke-75 PGRI yang jatuh pada 25 November 2020, justru diwarnai adanya penyegelan sekolah oleh pembina sekaligus pemilik lahan sekolah Drs. I Gusti Made Djawi.
Akibat insiden tersebut, pihak sekolah langsung menggelar pertemuan tertutup dengan pemilik tanah yang didampingi langsung oleh penasehat hukumnya, kepala sekolah serta utusan dinas terkait.
Tampak pihak keamanan dari Kepolisian, TNI dan Satpol PP Kota Denpasar ikut hadir memantau situasi yang tampak cukup menegangkan. Beberapa guru dan pegawai sekolah tampak berkumpul di halaman sekolah.
Penasehat hukum dari pemilik tanah I Gusti Ngurah Artana menjelaskan kedatangannya ke SMA PGRI 2 Denpasar untuk menindaklanjuti hasil pertemuan terkait masa jabatan Kepala Sekolah Komang Saputra yang sudah berakhir pada Februari 2020.
“Klien saya selaku pendiri, pemilik dan pembina sekolah bermaksud mengusulkan kepada Yayasan PGRI Provinsi Bali terkait pemilihan kepala sekolah yang baru yang awalnya disetujui,” jelasnya.
Namun kemudian muncul surat yang justru mempertanyakan kapasitas kliennya sebagai apa hingga mau mengusulkan pergantian Kepala Sekolah.
“Atas bukti hak memegang properti (tanah), sekolah ini sertifikatnya atas nama Gusti Made Djawi. Kami datang ke sini ingin menutup ruang Kepala Sekolah sebagai sikap protes kepadanya yang secara de facto dan de yure sudah tidak memegang jabatan lagi,” jelas kuasa hukum pemilik tanah, Rabu (25/11).
Dijelaskan, konflik ini muncul justru karena hubungan pemilik tanah dengan kepala sekolah yang sudah menjabat dua periode itu kurang harmonis. Kuat dugaan terjadi penyimpangan pada sistem manajemen sekolah. Kepala sekolah dinilai hanya berkordinasi dengan yayasan. Seolah-olah sekolah ini murni milik yayasan, padahal tidak demikian adanya.
“Berdasarkan anggaran dasarnya ada ketentuan menyebutkan, bahwa setiap sekolah yang menggunakan nama PGRI adalah milik yayasan, padahal sekolah ini propertinya milik pribadi dan memakai nama PGRI,” bebernya.
PGRI ini memiliki yayasan dan yayasan itulah yang memanage SMA PGRI 2 Denpasar ini. Terbukti dari penyerahan 12,5 persen dari hasil bersih pendapatan sekolah untuk yayasan.
Sisanya dikembalikan kepada sekolah. Namun pihak sekolah tidak pernah memberikan laporan kepada pembina selaku pemilik dan pendiri alias hak-hak perdatanya diabaikan. Dimana pemilik hanya memperoleh Rp 2,3 juta tiap bulan yang diberikan pihak sekolah.
“Klien kami ingin mengambil alih dulu, tapi mereka minta waktu dan intinya dia siap mengundurkan diri sebagai kepala sekolah melalui mekanisme yang ada,” jelas penasehat hukum Gusti Made Djawi.
Sebagai langkah ke depan, kini pihaknya masih melengkapi data terlebih dahulu yang akan diserahkan oleh Kepala Sekolah, pada Jumat (27/11). Data dimaksud tentang pendirian sekolah, kemudian akan dibaca/dipelajari.
Selain gugatan perdata soal kepemilikan dan kepengurusan, Artana menyebut kemungkinan ada satu ranah pidana karena ditemukan dokumen yang digunting oleh oknum tertentu sehingga tanda tangan dan nama Djawi hilang.
“Saat pertemuan hari ini, oknum itu tidak hadir. Ada dokumen penting tahun 1999 dimana saat itu Djawi menjadi pembina, dokumen tentang usulan 4 calon kepala sekolah. Setelah Djawi pensiun dan tidak menjadi kepala sekolah lagi, dokumen itu terkonfirmasi nama dan tanda tangannya dipotong, dipergunakan untuk apa, kita belum tahu. Ini akan ada pelaporan pidana,” pungkasnya. (sus)