Politik

​DPD RI Gelar Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan, Mangku Pastika: Reformasi harus Ada Koreksi 

(Dutabalinews.com),Ketua DPD RI Lanyalla Mahmud Mattalitti didampingi Anggota DPD RI dapil Bali Dr. Made Mangku Pastika, M.M., Aryaweda Karna dan Bambang Santoso menggelar “Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan”, Jumat (20/1) di Gedung DPD RI Perwakilan Bali Renon Denpasar yang dihadiri para tokoh, akademisi serta mahasiswa.

Berbagai pandangan  dan pertanyaan mengemuka dalam pertemuan tersebut di antaranya soal korupsi, kekayaan bangsa termasuk hutang negara yang terus membengkak hingga Reformasi dan sudah tentu eksistensi DPD RI itu sendiri.

Dalam tanya jawab sejumlah peserta antara lain mempertanyakan hutang negara yang begitu besar sementara korupsi juga nilainya sangat tinggi. “Apa tidak sebaiknya uang hasil tangkapan koruptor  digunakan untuk bayar hutang negara yang saat ini akan menembus Rp8 ribu triliun,” ujar mahasiswa. Pertanyaan juga muncul terkait amandemen UUD 45 yang mencapai 4 kali. Juga pemberdayaan sektor pertanian.

Anggota DPD RI dapil Bali Dr. Made Mangku Pastika, M.M. yang diberi kesempatan menjawab oleh Ketua DPD RI Lanyalla mengatakan negeri ini sesungguhnya sangat kaya dengan sumber daya alam yang melimpah. “Namun kita miskin karena salah urus akibat konstitusi yang kerap berubah. UUD 45 saja ada 4 kali amandemen,” ujar jenderal polisi (purn.) bintang tiga ini.

Dijelaskan, reformasi yang terjadi sesungguhnya sangat penting. Reformasi itu perlu untuk perbaikan, asal jangan kebablasan. Reformasi harus ada koreksi. Sebab kekuasaan itu cenderung korup. Apalagi kalau lama berkuasa pasti korup,” jelas Gubernur Bali 2008-2018 ini mengutip pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris dengan adagium-nya “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”.

Ketua DPD RI Lanyalla di awal sambutannya menyampaikan pikiran-pikiran tentang Kebangsaan, terutama menyangkut sistem bernegara dalam menghadapi tantangan dunia ke depan yang semakin kompetitif.

Dikatakan wawasan kebangsaan yang identik dengan nasionalisme sangat penting untuk selalu ditanamkan, terutama kepada generasi muda. “Sebab, seperti dikatakan Ki Hajar Dewantoro, bahwa anak didik atau generasi muda yang tidak kita ajarkan nasionalisme dan kebangsaan, bisa jadi di masa depan akan menjadi lawan kita. Ini artinya memori kolektif kita sebagai bangsa Indonesia memang harus dijaga,” ujarnya.

Jati diri sebagai bangsa Indonesia juga harus dipastikan tidak tercerabut. Karena penguasaan bangsa oleh bangsa lain, di masa kini tidak harus melalui operasi militer, tetapi dapat dilakukan dengan penghilangan kesadaran kolektif sebagai bangsa yang memiliki jati diri dan karakter. “Saya sudah berkeliling ke lebih dari 300 kabupaten kota di 34 Provinsi di Indonesia. Saya bertemu dengan stakeholder daerah. Baik pemerintah daerah, maupun elemen masyarakat dan perguruan tinggi. Saya menemukan persoalan yang hampir sama di semua daerah. Yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan. Ketidakadilan semakin terasa dalam 20 tahun belakangan ini. Khususnya sejak era reformasi. Dimana segelintir orang semakin kaya dan menguasai sumber daya Indonesia, sementara jutaan rakyat tetap miskin dan rentan menjadi miskin,” tambahnya.

Pertanyaannya mengapa ini bisa terjadi? Jawabnya, karena sejak era reformasi, Negara tidak lagi berdaulat untuk menyusun ekonomi. Karena ekonomi dipaksa disusun oleh mekanisme pasar bebas. Negara tidak lagi berkuasa penuh atas bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, karena cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak sudah dikuasai swasta. Hal ini adalah dampak dari perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang dilakukan bangsa ini di tahun 1999 hingga 2002 silam. Yang kemudian diikuti dengan lahirnya puluhan Undang-Undang yang pro pasar bebas.

“Dan ironisnya, jumlah hutang pemerintah melesat jauh meningkat sejak awal tahun 2000 hingga hari ini. Bahkan tahun 2023 ini, pemerintah berencana menambah hutang lagi sekitar 700 triliun rupiah. Artinya di tahun 2023 ini, hutang pemerintah akan menembus angka 8.000 triliun rupiah. Dan rakyat Indonesia, sebagai pemilik negara ini tidak bisa berbuat apa-apa. Karena nyatanya Undang-Undang pro pasar terus lahir, dan hutang yang harus dibayar generasi masa depan juga terus bertambah,” ujarnya.

Pertanyaan berikutnya; Mengapa rakyat tidak bisa berbuat apa-apa? Jawabnya; Karena kedaulatan rakyat sudah dipindahkan kepada kedaulatan Partai Politik dan Presiden. Hal ini juga diakibatkan Perubahan Konstitusi yang dilakukan bangsa ini di tahun 1999 hingga 2002 silam. Dimana partai politik dan DPR RI serta pemerintah memiliki peran yang sangat kuat untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini.

“Inilah dampak dari kita meninggalkan Rumusan Bernegara yang disusun para pendiri bangsa kita. Rumusan Bernegara yang terdapat di dalam Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 telah diubah total dalam Amandemen di era reformasi saat itu. Bahkan perubahan itu mencapai lebih dari 95 persen. Itulah mengapa dalam penelitian akademik Profesor Kaelan dari Universitas Gadjah Mada menyebut hal itu bukan Amandemen Konstitusi, tetapi penggantian Konstitusi,” tegasnya.

Karena selain mengubah total isi pasal- pasalnya, perubahan itu juga mengubah format dan rumusan bernegara Indonesia. Bahkan Pancasila tidak lagi tercermin dalam isi pasal-pasal Konstitusi hasil perubahan itu. Melainkan nilai-nilai lain, yaitu ideologi Liberalisme dan Individualisme. Inilah yang menyebabkan Indonesia terasa semakin gagap menghadapi tantangan dunia masa depan. Karena lemahnya kekuatan ekonomi negara dalam menyiapkan ketahanan di sektor-sektor strategis.

Oleh karena itu tidak ada pilihan tambah Lanyalla. Darurat Sistem yang diakibatkan oleh Kecelakaan Perubahan Konstitusi harus diakhiri dengan cara kembali kepada rumusan asli sistem bernegara dan sistem ekonomi Pancasila. Para pendiri bangsa sudah merumuskan satu sistem yang paling ideal untuk Indonesia. Sistem tersendiri yang cocok untuk bangsa yang super majemuk. Dengan penduduk yang tersebar di pulau-pulau yang terpisah oleh lautan. Dengan lebih dari 500 suku yang tersebar di negara ini.

Sehingga para pendiri bangsa memutuskan bangsa ini tidak akan bisa menjalankan sistem demokrasi liberal barat murni, atau sistem komunisme timur. Karena itu dipilihlah sistem tersendiri. Yaitu sistem Demokrasi Pancasila. Karena hanya sistem Demokrasi Pancasila yang memiliki Lembaga Tertinggi yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari Penjelmaan Rakyat.

Sehingga ciri utama dan yang mutlak harus ada dalam Sistem Demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa ini, yang berbeda- beda, yang terpisah-pisah, harus berada sebagai pemilik Kedaulatan Utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini, yaitu di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR. Itulah konsepsi sistem bernegara kita yang tertuang di dalam Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945.

Dimana terdapat wakil-wakil yang dipilih. Dan utusan-utusan yang diutus untuk berada di MPR. Wakil-wakil yang dipilih, adalah peserta Pemilihan Umum. Sedangkan Wakil-wakil yang diutus, adalah mereka yang diusung dan diberi amanat oleh kelompok mereka. Sehingga dirumuskan terdapat dua utusan. Utusan Daerah; yaitu mereka para tokoh daerah atau Raja dan Sultan Nusantara.

Sedangkan Utusan Golongan adalah mereka yang terdiri dari Organisatoris dan Profesional yang aktif di bidangnya. Karena jika MPR hanya diisi melalui Pemilu, maka Demokrasi yang berkecukupan tidak akan terpenuhi. Karena Pemilu hanya sanggup menjamin keterwakilan secara kuantitatif, baik distrik maupun proporsional. Sedangkan utusan, adalah mereka yang menjamin keterwakilan secara kualitatif. Karena mereka memang pelaku dan pegiat yang aktif.

Sebaliknya, mereka yang masuk melalui jalur Partai Politik atau peserta Pemilu, seharusnya melepaskan “identitas” atau profesinya, untuk menghindari conflict of interest saat menyusun Undang-Undang. Dengan demikian, maka utuhlah demokrasi kita. Semuanya terwadahi. Sehingga menjadi demokrasi yang berkecukupan. Tanpa ada yang ditinggalkan. Untuk kemudian mereka bersama-sama Menyusun Arah Perjalanan Bangsa melalui GBHN dan Memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris atau petugas yang diberi mandat. Sehingga Presiden adalah petugas rakyat. Bukan petugas partai.

Tetapi persoalan berikutnya adalah, Disain atau Rumusan Asli Sistem Bernegara para pendiri bangsa ini tidak mengenal Sistem Bi- Kameral. Tidak mengenal Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui Pemilu. Lembaga Tertinggi Negara yang bernama MPR yang merupakan Penjelmaan Rakyat hanya diisi melalui dua jalur. Yaitu jalur yang dipilih melalui Pemilu dan jalur yang diutus. Sehingga hanya berisi Anggota DPR yang dipilih dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan yang diutus.

“Oleh karena itu, sebagai tawaran penyempurnaan Undang-Undang Dasar Naskah Asli melalui Amandemen dengan Teknik Adendum, saya mengusulkan agar Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, tidak hanya diisi oleh Peserta Pemilu dari Unsur Partai Politik saja. Tetapi juga diisi oleh Peserta Pemilu dari Unsur Perseorangan. Sehingga anggota DPD RI akan berpindah menjadi satu kamar di DPR RI. Karena pada hakikatnya mereka sama-sama dipilih melalui Pemilu,” tegasnya.

Dengan adanya anggota DPR RI peserta pemilu dari unsur perseorangan, akan membawa dampak positif setidaknya dalam 3 hal.

Pertama; Memperkuat mekanisme check and balances terhadap eksekutif. Kedua; Mencegah koalisi besar partai politik dengan pemerintah yang merugikan kepentingan rakyat. Dan ketiga; Sebagai penyeimbang dan penentu dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di DPR RI. Sehingga keputusan di DPR RI tidak hanya dikendalikan oleh Ketua Umum partai politik saja. Karena anggota DPR RI dari unsur perseorangan tidak mempunyai Ketua Umum.

Sedangkan Utusan Daerah tetap diisi oleh utusan-utusan daerah, yang idealnya dihuni oleh Raja dan Sultan Nusantara. Sementara Utusan Golongan diisi oleh utusan-utusan dari Organisasi dan para Profesional. Utusan Daerah dan Utusan Golongan harus diberi hak untuk memberikan pertimbangan yang wajib diterima oleh DPR RI dalam penyusunan Undang-Undang. Hal itu sekaligus sebagai penguatan fungsi Public Meaningful Participation. Sehingga hasil akhirnya, kita memperkuat sistem bernegara yang telah dirumuskan para pendiri bangsa, tanpa mengubah struktur atau konstruksi sistem bernegara, dimana penjelmaan rakyat harus berada di Lembaga Tertinggi Negara. (bas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *