Bedah Buku “Mencari Kitab Suci”, Prof. Sumadi: Mencari Diri Kita Sendiri
Demikian terungkap dalam acara Bedah Buku Catatan Jurnalistik “Mencari Kitab Suci”, dengan menghadirkan Prof. Ketut Sumadi selaku penyanggah yang dipandu Rofiqi Hassan, Jumat (11/8) di Warung Kubukopi Renon Denpasar.
“Mencari Kitab Suci itu adalah mencari diri kita sendiri. Demikian halnya wartawan itu meski hidup sederhana tapi berpikir mulia. Jadi harapan peluncuran buku ini kita bisa jadi orang yang dimuliakan,” ungkap Prof. Ketut Sumadi.
Dikatakan, hidup menjadi wartawan sama dengan profesi lain seperti dokter, arsitek dll. “Sesungguhnya profesi jurnalis mengajak kita kembali pada diri kita sendiri. Wartawan itu kadang-kadang identitasnya bisa abu-abu. Seperti cover buku ini. Tulisan kuning ini lambang cahaya kebahagiaan. Jadi tugas wartawan menyajikan berita harus beri kebahagiaan kepada masyarakat. Menulis harus berdasarkan fakta, mengungkap fakta yang sebenarnya,” tambah Prof. Sumadi.
Mantan wartawan, penulis yang kini sebagai dosen ini tampak tertarik untuk mengulas cover buku “Mencari Kitab Suci” yang dilihatnya banyak memberi makna. “Kalau isi buku ini silakan baca. Saya tertarik dengan covernya ada warna gelap (abu-abu), sisinya putih dan hurufnya berwarna kuning,” ujarnya.
Sementara IGN Wisnu Wardana pada awal sambutannya mengatakan kitab suci itu adalah diri kita sendiri. “Jadi mencari kitab suci adalah mencari jati diri kita sendiri,” ujarnya.
Ia menceritakan di tahun 70-an ketika menjadi wartawan, mencari berita kriminal sangat sulit. Bali saat itu mash kuning (bersih). Namun di tahun 90-an sudah berubah merah berita kriminal makin banyak seperti jambret, dll. Dan 2000-an sudah hitam, hitam setelah bom Bali (2000-an) meledak di Bali dan sejumlah kasus lainnya.
Penerbitan buku setebal 400 halaman lebih itu Gung Wisnu berharap dapat memberikan inspirasi bahwa adat – budaya yang sudah ada sejak zaman pra -sejarah Bali, kemudian menyebabkan tanah Bali memiliki vibrasi kesucian dari berbagai upacara adat – budaya (yadnya) yang dilakukan secara terus menerus oleh krama Bali sebagai salah satu cara mereka menekuni agamanya (Hindu). Vibrasi itu kemudian membentuk generasi Bali yang ‘suputra”. Sebuah generasi yang berbudi pekerti luhur cerdas, bijaksana, dan membanggakan keluarga. Anak suputra akan mengangkat harkat dan martabat orangtua.
Di sisi lain ia melihat kondisi antagonis (2000-an) yaitu perubahan prilaku dalam menyelenggarakan “yadnya”. Penulis pernah hadir dalam suatu seminar yang membahas bahwa orang Bali (tahun 2010-an) seolah mulai terbebani oleh penyelenggaraan yadnya, karena semuanya ada hitungan rupiah. Padahal, sejak dulu, pelaksanaan yadnya dilakukan sebagai pemujaan, penghormatan. pengorbanan, pengabdian, perbuatan baik (kebajikan, pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang mereka miliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama untuk memuja kemaha- muliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
“Buku ini, sudah barang tentu masih banyak kekurangannya, mengingat penulis bukanlah seorang pakar kitab suci agama (Hindu). Buku ini hanya catatan seorang jurnalis, sehingga menjadi buku catatan jurnalistik, untuk membedakannya dengan buku karya akademik atau buku-buku susastra Agama lainnya,” pungkas Gung Wisnu. (bas)