Ari Dwipayana: Budaya Kawi Berkontribusi Membangun KeIndonesiaan
Budaya Kawi dinilai telah dijadikan sumber literasi untuk membangun pilar-pilar penyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu dapat dilihat mulai dari motto Bhinneka Tunggal Ika sebagai moto bangsa Indonesia yang digali dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, hingga nama Ibu Kota Nusantara juga dengan jelas termuat dalam Kakawin Negarakertagama. Pemanfaatan literasi kawi tersebut tidak boleh terputus, sehingga revitalisasi, rekonseptualisasi dan reintegrasi menjadi salah satu cara membumikan warisan sastra kawi ke generasi muda saat ini.
Hal itu disampaikan oleh Koordinator Staf Khusus Presiden RI AAGN Ari Dwipayana dalam sambutannya di acara Festival Internasional Budaya Kawi yang diselenggarakan di Widya Mandala FIB Unud Bali, Kamis (24/8/2023). Hadir juga dalam acara tersebut Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Made Sri Setyawati, Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN Herry Yogaswara, dan Ketua Kawi Society Aditia Gunawan.
“Sejak pendirian NKRI hingga saat ini, sesungguhnya pemanfaatan literasi sastra Kawi tidak pernah putus. Ibu kota negara Republik Indonesia di Kalimantan juga menggunakan istilah Nusantara. Kata Nusantara atau Dwipantara yang sudah termuat dalam Kakawin Nagarakretagama mengacu pada negara kepulauan yang membentang luas. Laut bagi masyarakat nusantara yang pelaut bukanlah pemisah satu pulau dengan pulau yang lain, tetapi justru menghubungkannya. Laut dalam pemaknaan saya adalah uriping bhuwana ‘sumber kehidupan’ dan usaddhaning sangaskara ‘sumber peradaban’,” tutur Ari.
Sebelum penamaan IKN Nusantara, Ari juga menjelaskan sari-sari pengetahuan dari Sastra Kawi juga sudah mengilhami pembangunan pilar-pilar bangsa seperti Bhineka Tunggal Ika dan juga Pancasila krama yang tertulis dalam kakawin Sutasoma. Dalam kakawin itu, Pancasila sudah dijadikan sebagai instrumen rohani untuk menata negara dalam situasi disharmoni.
Ari mengatakan, menyadari pentingnya sastra kawi dalam tata negara dan berbagai lanskap kehidupan masyarakat, Puri Kauhan Ubud menjadikan sastra kawi sebagai “padipaning manah” atau cahaya pikiran untuk selalu menerangi nalar dan nurani. Puri Kauhan Ubud mewarisi naskah lontar sebagai produk budaya kawi yang berjumlah lebih dari 50 manuskrip.
“Kami sangat menyadari bahwa naskah-naskah lontar sebagai media dokumentasi budaya kawi itu harus dialirkan menembus berbagai lapisan telaga zaman.Oleh sebab itu, kami melakukan usaha untuk mendigitalisasi, katalogisasi, konservasi, apresiasi, dan aksi untuk bisa membumikan warisan sastra kawi itu hingga di ceruk-ceruk hati generasi saat ini,” ujar Ari.
“Pada tahun 2021 ketika kita semua ditimpa pandemi covid-19, kami mengadakan ajang Sastra Saraswati Sewana dengan tajuk Pamarisuddha Gering Agung. Dari lomba menulis kakawin yang kami adakan dihasilkan 19 karya sastra baru yang bertema pandemi covid-19. Karya-karya sastra kakawin ini kami harapkan bisa menjadi korpus sastra kawi yang kelak dipelajari, ditembangkan, dan diteliti oleh masyarakat Bali, Indonesia, dan dunia,” lanjut Ari.
Adapun, Ari menyadari bahwa budaya kawi bukanlah milik Bali semata. Terdapat berbagai wilayah di Indonesia lainnya yang juga memiliki budaya kawi seperti Sunda, Lombok, Madura, dan Palembang. Oleh karena itu, acara Festival Internasional Budaya Kawi menjadi sangat strategis agar di masa depan budaya kawi dapat dipelajari, diteliti, diapresiasi, dan nilainya bisa dijadikan suluh kehidupan bagi masyarakat dunia. (ist)