Dampak Alih Fungsi Sawah Tidak Terkendali: Subak Hilang, Wisatawan Tidak Akan Datang
FGD yang diselenggarakan di Aula Gedung Pasca Sarjana Unud, Selasa (6/2/2024) diselenggarakan atas kerja sama Pasca Sarjana Unud dengan Sekretariat DPD RI dihadiri sekitar 40 orang dari berbagai kalangan pemerhati subak. Prof. Budiasa menekankan ada sejumlah kawasan di kawasan Bali Selatan yang sangat rentan subak-nya punah akibat sawahnya habis dimanfaatkan untuk kepentingan akomodasi pariwisata, perubahan maupun infrastruktur.
Dicontohkan, di kawasan pesisir antara Kerobokan (Badung) dan Tanah Lot (Tabanan) saat ini berkembang sebagai DTW dan alih fungsi sawah tidak terkendali. Kondisi ini memprihatinkan, kata Koordinator SDGs Center LPPM Unud itu, sawah yang dulunya menjadi daya tarik utama wisatawan datang malah dieksploitasi dan pariwisata berkelanjutan di Bali terancam.
“Mohon diingat bahwa pengembangan pariwisata tidak cukup dengan membangun hotel mewah dan mengunggulkan keindahan pantai semata. Jika sawah habis, dan subak hilang di kemudian hari baru menyesal,” tegasnya.
Ditambahkan, berdasarkan penelitiannya dalam beberapa tahun terakhir di Kota Denpasar terdapat dua subak sudah punah karena sawahnya habis dialih fungsikan. Ketua Bappeda Bali I Wayan Wiasthana Ika Putra, S.Sos., M.Si mengakui alih fungsi sawah tidak terkendali di kawasan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan. Alasannya, kawasan ini banyak terdapat titik-titik pertumbuhan ekonomi sehingga banyak investor yang tertarik menanamkan modalnya. “Ibarat kue, di kawasan ini rasanya sangat manis, sehingga banyak semut yang datang,” tutur birokrat itu menganalogikan. Diakuinya, pemerintah selaku pemegang kebijakan tidak bisa serta merta melarang petani menjual sawahnya karena kepemilikan sawah adalah pribadi.
Pemprov Bali, lanjutnya, sudah melakukan upaya pencegahan dengan penetapan RTRW yang didalamnya mengatur kawasan PLP2B. Sedangkan ahli sumber daya ekonomi dan lingkungan Dr. Ir. I Made Sudarma, M.S. menekankan selama petani tidak mendapat ruang meraih keuntungan memadai dari usaha tani padinya maka nafsu untuk menjual sawahnya tetap tinggi karena tekanan ekonomi.
“Artinya, petani harus difasilitasi agar bisa berproduksi dengan baik, sarana produksinya tersedia dengan harga terjangkau dan mudah didapat sedangkan pasarnya dijamin. Jadi ada insentif bagi petani agar bersedia berpartisipasi dalam mengimplementasikan UU PlP2B,” tegas Dosen Prodi Agribisnis FP Unud itu. Ketua Tim Ahli DPD RI Dr. Irman Firmansyah, S.Hut., M.Si menambahkan maraknya alihfungsi lahan basah di Bali juga dipicu masalah rendahnya minat generasi muda terjun sebagai petani.
“Buktinya, 90% anak petani di Subak Jatiluwih enggan terjun sebagai petani. Hal ini hasil penelitian kami beberapa tahun silam,” ujarnya. Dijelaskan FGD tersebut bagian dari tiga FGD di yang ditujukan untuk menyusun naskah akademik perubahan UU PLP2B. Dua FGD lain dilaksanakan di Universitah Syahkuala di Aceh dan Unhas, Makasar.
Sejumlah pekaseh subak menanggapi materi yang dipaparkan narasumber mengaku pesimis dengan keberadaan subak kendati sudah ada UU PLP2B. Alasannya, UU ini tidak diikuti dengan perbaikan kelembagaan di tingkat petani sehingga ada benang merah kebijakan pusat dan penerapannya di tingkat petani. Ketut Sugata, salah seorang pekaseh di Kabupaten Gianyar menekankan ada aturan yang tumpang tindih di tingkat Provinsi Bali yakni Perda Subak dan Perda Desa Adat yang menyebabkan konflik wilayah antara desa adat dan subak.
Ada desa adat yang mengklaim sawah menjadi bagian wilayahnya sehingga pihak desa adat sewenang-wenang mengatur wilayah yang seharusnya dikelola secara otonom oleh subak. “Semoga DPRD yang baru mau mencermati aturan yang tidak memihak pelestarian subak ini sehingga semangat petani menjaga kelestarian subak tidak kendor,” tuturnya.
sumber: www.unud.ac.id