Pendidikan & Olahraga

Prasanthy Devi Maheswari, Doktor ke-142 UHN I Gusti Bagus Sugriwa

Sampai atau tidaknya seseorang dalam mencapai mokṣa bukan merupakan fokus dari proses kehidupan itu sendiri. Sebab teks ini menyatakan, jika belum berhasil maka manusia harus mengurungkan niatnya sebab kehidupan masih panjang.

(Dutabalinews.com), Program Pascasarjana Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar menggelar Ujian Terbuka Promosi Doktor Ilmu Agama dengan promovenda Prasanthy Devi Maheswari, SAg.MAg., Senin (1/7) bertempat di Auditorium Pascasarjana Universitas HIndu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar.

Pada ujian terbuka tersebut Prasanthy Devi yang membawakan disertasi dengan judul “Teologi Hindu Dalam Teks Tattwa Sangkaning Dadi Janma” itu berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan Dewan Penguji yang terdiri dari Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si., Dr. Drs. I Nyoman Ananda, M.Ag., Dr. Made Sri Putri Purnamawati, S.Ag., MA.,M.Erg., Dr. Drs. I Made Sugata, M.Ag., Dr. I Made Adi Surya Pradnya, S.Ag.,M.Fil.H., Dr. I Nyoman Alit Putrawan, S.Ag.,M.Fil.H. dan Dr. I Gusti Made Widya Sena,S.Ag.,M.Fil.H. dengan Promotor Prof. Dr. Dra. Relin D.E., M.Ag. dan Kopromotor Prof. Dr. Drs. I Made Surada, M.A. sehingga dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar doktor (S3).

Prasanthy Devi yang menempuh masa studi 7 tahun dengan IPK 3,75 ini dinyatakan lulus dengan sangat memuaskan. Dosen UHN I Gusti Bagus Sugriwa ini menjadi doktor agama ke-142 di kampus tersebut.

Dalam disertasinya Prasanthy Devi mengungkapkan konsep teologi yang tidak dapat dipisahkan dari praktek keagamaan menjadi sangat penting untuk dipahami oleh umat. Teologi Hindu yang bersumber dari Veda adalah samudera pengetahuan yang tidak hanya memuat ajaran tentang ketuhanan (paravidyā) melainkan juga pengetahuan akan materi (aparavidyā). Kedua pengetahuan ini harus dipelajari secara utuh agar tidak terjadi sesat dalam berpikir. Kedua pengetahuan ini adalah hal yang saling melengkapi dan menyempurnakan.

Disebutkan Teks Tattwa Sangkaning Dadi Janma merupakan bagian dari nibhanda sebagai pustaka suci kearifan lokal Bali yang menjadi kekayaan umat Hindu yang berisi pedoman manusia dalam menjalani kehidupan dan menghadapi kematian.

Teks ini menurut terjemahannya merupakan teks yang memuat tentang kebenaran menjadi manusia. Teks ini berbicara tentang hakekat hidup untuk mencapai tujuan yaitu kebahagian abadi atau kalepasan dan menyatu pada Sang Tunggal (kamokṣan). Untuk bisa mencapai tujuan hidup ini haruslah memiliki pengetahuan yang benar tentang proses dan jalan yang harus ditempuh Penelitian ini mengemukakan bahwa awalnya manusia harus memahami sikliknya sebuah proses memahami sebuah ajaran kemudian pentingnya dalam memahami makna-makna teologi yang terkait pada teks ini.

Baca Juga :   Cetak Sejarah Pemira Universitas Udayana, Bawasra Unud 2023 Lakukan Pengurangan 1.154 Suara Sah

Pada mulanya adanya dari proses penciptaan (utpeti), yang melibatkan dua unsur yang berbeda (dualisme) yaitu unsur spirit dan materi. Dari hal tersebut disebut dengan dvaita yaitu munculnya unsur rwa bhineda (siang-malam, ayah-ibu, baik-buruk, kanan-kiri, sorga-neraka dan lain sebagainya), kemudian adanya penciptaan makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (diri manusia).

Setelah proses penciptaan ini maka adanya proses kehidupan. Siklus kehidupan yang terjadi pada makrokosmos terjadi pula dalam mikrokosmos, karena sesungguhnya keduanya disusun oleh unsur- unsur yang sama. Jika dalam makrokosmos setelah penciptaannya yaitu ada proses pemeliharaan oleh Tuhan itu sendiri, maka wujud pralina atau pralaya yaitu terjadinya bencana alam sebagai proses pengembalian unsur. Manusia pun mengalami proses tersebut.

Setelah proses kelahiran maka manusia melewati proses kehidupan, inilah yang melibatkan pengalaman hidup dan cara yang dilakukan oleh setiap manusia dalam melewatinya. Akhir dari tujuannya dipengaruhi dengan bagaimana manusia memaknai sebuah kehidupan. Oleh sebab itu pencapaian yang didapatkan setiap manusia pun akan berbeda pada akhirnya. Karena setiap manusia menjalani perjalanannya sendiri sesuai dengan kesadaran yang terbentuk selama proses kehidupan.

Selama proses kehidupan manusia untuk memahami sesuatu yang abstrak atau misteri, manusia membutuhkan bantuan dengan berbagai macam media termasuk simbol. Oleh sebab itu manusia pada akhirnya manusia akan menemui proses peleburan kedua unsur tersebut sebagai bentuk dari visista-dvaita. Yaitu memahami Tuhan dalam bentuk simbol dan aksara. Tuhan yang bersthana dalam diri berikut dengan aksara sucinya.

Unsur kedewataan dalam diri tersebut dapat dihidupkan dengan pengetahuan tentang yoga dan atmajnana. Ajaran yoga sebagai ajaran dan proses penyatuan dengan menghidupkan kesadaran ketuhanan melalui proses kontemplasi.

Teks ini mensyaratkan jika seseorang ingin memahami pengetahuan luar biasa ini, maka ia harus menjadi murid yang baik dengan menghormati guru, agar aliran pengetahuan akan sampai padanya. Ajaran yoga yang ada dalam teks ini adalah ajaran yoga kundalini, dengan menghidupkan cakra yang melibatkan tiga jalan (Tri Nāḍī) yang ada pada tubuh.

Realisasi diri sebagai ātma yang dilalui dengan jalan yoga dapat dicapai dengan meningkatkan kesadaran manusia menuju kesadaran ketuhanan, yang mana dalam pengalaman transendental, disebut sebagai penyatuan Siwa dan Shakti sebagai manusia kosmis.

Baca Juga :   Nyoman Kandel: Jadi Dewan Ingin Perjuangkan Harapan Rakyat

Ida, Pingala dan Susumna adalah tiga jenis nadi sebagai tempat mengalirnya kekuatan prana. Ida nadi dan Pingala nadi berada terpisah dari saluran sushumna pada muladhara cakra, namun keduanya akan bertemu di sushumna pada wilayah cakra anahata dan terpisah kembali, mengalir ke lubang hidung kiri dan kanan. Setelah itu menuju cakra terakhir sebagai cakra tertinggi yang merupakan tujuan dari proses pembebasan dan kebahagiaan sejati.

Walaupun dinyatakan Susumnā Nāḍī adalah jalan yang utama dalam mencapai pembebasan (kamokṣan), namun dalam teks ini tidak menganggap jalan yang lain lebih buruk, sebab pencapaian pada jalur utama merupakan proses yang dipengaruhi oleh pemahaman dan pengalaman masing-masing orang yang diperoleh sumur hidupnya.

Oleh sebab itu sampai atau tidaknya seseorang dalam mencapai mokṣa bukan merupakan fokus dari proses kehidupan itu sendiri. Sebab teks ini menyatakan, jika belum berhasil maka manusia harus mengurungkan niatnya sebab kehidupan masih panjang. Selain upaya manusia ada kuasa Tuhan dan waktu yang mempengaruhi pencapaian tersebut. Tahapan ini dapat dikatakan bahwa, dalam menjalani kehidupan yang rwa bhineda ini manusia melibatkan Tuhan yang gaib dalam proses hidupnya.

Setelah tahapan ini terlampaui maka tahapan yang lebih sulit akan dicapai yaitu pemahaman dari advaita. Proses realisasi diri ini dapat dikatakan sebagai bentuk implementasi dari ajaran advaita dimana terdapat sebuah pemahaman dan kesadaran yang lebih tinggi dimana jati diri manusia (ātma) tidak lain adalah Tuhan (paramātman) itu sendiri.

Dengan demikian sampailah pada tujuan hidup manusia yaitu kebahagiaan sejati baik selagi hidup (jivanmukti) hingga mampu mencapai kebahagiaan sejati setelah kematian yaitu mokṣa. Ajaran ini bukan pengetahuan yang mudah dipahami, namun manusia berhak memiliki kesempatan untuk mempelajari jika dirinya sudah siap, menjadi murid yang baik dan bertemu dengan guru sejati yang memandu untuk mengaktifkan kemampuannya. Mengkaji teks ini merupakan upaya memperlihatkan pengetahuan adi luhung yang dikaji agar pengetahuan ini tidak lagi menyilaukan ketika dilihat dan dipelajari oleh siapa saja.

Manusia diharapkan mampu hadir seutuhnya dengan kesadaran penuh (mindful). Pengetahuan ini sangat penting untuk menyebrangkan manusia dari kehidupan yang dianggap sebagai lautan penderitaan dunia, yang sesungguhnya penderitaan dan neraka yang dibuatnya sendiri. Sebab bukan kehidupan yang terlihat menakutkan tetapi manusia yang memproyeksikan potensi dalam dirinya sebagai sebuah realita pada dunia. Tidak akan ada proses kehidupan termasuk bentuk pemeliharaan di dalamnya apabila tidak melalui proses penciptaan dan peleburan kembali, maka hal tersebut harus dihadapi dan tidak bisa disangkal dan bukan hal yang harus ditakuti oleh manusia.

Baca Juga :   TCI Fakultas Pariwisata Unud Beri Pelatihan Bahasa Mandarin untuk Pemandu Wisata di Bali

Merujuk pada konsep Teologi yaitu Tuhan sebagai sumber segala, maka aspek teologi dalam teks Tattwa Sangkaning Dadi Janma yang menyebutkan adanya ardhanareswari sebagai rwa bhineda atau konsep Sadaśiwa yaitu bertemunya unsur maskulin (pinggala) dan feminim (ida) atau dapat dikatakan sebagai pertemuan antara Nirguna (Śiwa) dan Saguna (Sakti). Kiri (ida) dan kanan (pinggala) akan lebur dan masuk pada yang tengah yaitu sumsumna.

Konsep teologi Hindu yang merujuk pada konsep Tri Nadi yang diajarkan dalam teks ini sebagai kunci kehidupan, kelahiran dan kematian, yang mana tulang punggung manusia sebagai aspek eksoterik (imanen atau saguna) dan Tri Nadi adalah aspek esoterik (transenden atau nirguna). Oleh sebab itu dikatakan manusia yang bijaksana (paṇḍita) tidak lagi menampik adanya rwa bhineda dalam diri, bukan untuk berada di salah satu diantara keduanya namun manusia mampu menyatukan kedua unsur berbeda ini yang dalam hal ini yaitu prana dari Ida Nadi dan Pinggala Nadi sebagai unsur dualitas keberadaan dan personifikasi Śiwa (maskulin) dan Shakti (feminim) menyatu pada Sumsumna Nadi melalui media tulang punggung sehingga manusia mampu menggunakan badan materi sebagai sarana untuk mencapai penyatuan.

Seluruh konsep dalam memahami Tuhan, pengetahuan yang sejati, pencarian Sang Diri yang sejati hingga jalan mencapai pembebasan dalam teks Tattwa Sangkaning Dadi Janma yang merupakan saripati dari ajaran Hindu yaitu samkhya, yoga bahkan vedānta, tidaklah dianggap sebagai konsep pemikiran yang terpisah dan bertentangan, namun lebih dianggap sebagai formulasi yang menyempurnakan dalam tahapan pencarian dan pendakian spiritual manusia. (ist)

Berikan Komentar