FGD Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif, Rai Mantra: Modal Budaya harus Masuk dalam Perda sebagai Landasan Pembangunan Bali

(Dutabalinews.com), Bali harus mempunyai kompetensi khusus terhadap Modal Budaya. Karena hanya SDM yang kompeten dapat menjaga Modal Budayanya. Termasuk di Indonesia yang menggunakan sumber daya tak berwujudnya yaitu modal budaya sebagai potensi.

“Modal Budaya harus masuk dalam Perda sebagai potensi sumber daya alam tak berwujud dalam landasan pembangunan Bali.
Konsistensi Law Enforcement menjadi kunci keberlanjutan pariwisata budaya di Bali karena UU sudah banyak dan bagus,” tegas Anggota DPD RI Perwakilan Bali Dr. I.B. Rai Dharmawijaya Mantra pada acara Serap Aspirasi Masyarakat yang digelar Anggota DPD RI Perwakilan Bali Dr. I.B. Rai Dharmawijaya Mantra, Rabu (26/3/2015) di Kantor DPD RI Perwakilan Bali.

Penyerapan aspirasi (FGD) ini dalam rangka Inventarisasi Materi Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif.

“Kompetensi dan Law Enforcement menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas lingkungan, budaya dan SDM dalam rangka mewujudkan pariwisata yang berkualitas, bermartabat dan berkelanjutan,” tambah Rai Mantra yang duduk di Komite III DPD RI.

Di awal paparannya disebutkan Kementerian Bappenas menyebut ada tujuh isu yang menjadi tantangan dalam membangun pariwisata berkualitas yakni penurunan kualitas lingkungan, rendahnya kualitas tata kelola destinasi wisata, pelayanan pariwisata yang kurang prima, rendahnya kualitas SDM, keterbatasan aksesbilitas udara, darat, dan laut, kurangnya investasi, serta minimnya kesiapsiagaan bencana.

Menurut Rai Mantra, pembangunan kepariwisataan bukan hanya diarahkan pada peningkatan kuantitas wisatawan, melainkan pada kualitas (pengalaman otentik) serta keberlanjutan lingkungan dan budaya yang khas Nusantara.

“Pembangunan kepariwisataan harus bisa mendatangkan benefit sosial bagi masyarakat setempat, tidak hanya profit oriented. Dan dalam halnya dibutuhkan pemahaman dan komitmen dari seluruh stakeholder kepariwisataan untuk bersama-sama mewujudkannya. Pembangunan kepariwisataan juga tidak terlepas dari sektor ekonomi kreatif di dalamnya,” tegasnya.

Sebab dunia pariwisata yang semakin berkembang pesat membawa potensi ekonomi kreatif di dalamnya. Ekonomi kreatif adalah sektor perekonomian yang menggabungkan antara kreativitas budaya dan intelektual dalam proses produksi dan distribusi barang dan jasa. Berbagai produk ekonomi kreatif yang dapat dikembangkan meliputi kerajinan, fashion, karya seni/ kriya, kuliner, musik, film, fotografi.

Dalam pengembangan ekonomi kreatif, pemerintah juga telah mengambil langkah konkrit dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif yang kemudian menjadi landasan dan arah pengembangan dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi industri kreatif.

Namun demikian, implementasi kebijakan dan pemgawasan terhadap kebijakan tersebut masih membutuhkan perhatian serius. Industri kreatif terutama di sektor UMKM masih menghadapi berbagai tantangan meliputi kurangnya akses pembiayaan, keterbatasan fasilitas pelatihan, serta kuranganya perhatian dalam pengemabngan infrastruktur di daerah-daerah.

“Oleh karena itu, Komite III DPD RI memandang perlu adanya evaluasi terhadap implementasi UU Nomor 24 Tahun 2019 agar sektor industri kreatif dapat tumbuh secara optimal sebagai bagian daripada peningkatan perekonomian lokal,” tegas mantan Walikota Denpasar ini.

Dr. Murjana Yasa yang memandu diskusi mengatakan linkage antara Pemerintah, Swasta, dan Komunitas harus dibangun dalam rangka pengembangan pariwisata dan sektor industri kreatif. Pembangunan pariwisata juga harus diseimbangkan dengan pengembangan sektor pertanian dan UMKM. “Kita menuju keseimbangan, sementara pariwisata terlalu cepat dan pertanian tertatih tatih. Kita ingin par didukung pertanian dan sektor lainnya. Pariwisata kuat kalau pertaniannya maju,” tegasnya.

Sementara perwakilan Disparda Bali mengatakan Dinas Pariwisata Bali sudah melakukan upaya-upaya kelembagaan melalui pembentukan dan penguatan regulasi dalam rangka percepatan pembangunan kepariwisataan. “Daerah Bali Utara, Bali Timur, Bali Barat, jumlah kunjungan wisatawannya masih belum optimal. Pemerintah Provinsi Bali telah menyusun pola perjalanan pariwisata (travel pattern) untuk menarik minat kunjungan ke daerah.

Akademisi Unud Prof. I Nyoman Sunarta mengaku ikut terlibat dalam penyusunan UU Nomor 10 Tahun 2009. “Ada dua hal yang saya soroti, pertama apakah kiblatnya pada masyarakat atau investor. Kedua, pengembangan pariwisata bukan hanya memperhatikan budayanya saja, tetapi juga alam dan masyarakat lokal, karena ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain,” jelasnya.

Menurutnya aturan (UU, Perda, Pergub) sudah banyak. Jadi jangan terus buat aturan sedangkan implementasinya kurang. “Yang dibutuhkan saat ini adalah komitmen bersama untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian alam, budaya dan meningkatkan kualitas manusianya (SDM). Kalau SDM dan infrastruktur kita sudah bagus dan berkualitas, alam dan budaya terjaga, maka yang datang akan berkualitas pula,” tegasnya.

Juliana Eka Putra selaku Wakil Rektor Primakara mengatakan komunitas ekraf sudah banyak yang bergerak secara mandiri dengan jumlah yang besar, ini tidak terdetect oleh pemerintah. Pihaknya sedang dalam tahap pengkajian berkaitan dengan seberapa besar dampak perekonomian yang datang dari sektor ekonomi kreatif.

Ketua Asita Bali Putu Winastra mengatakan ada usulan gabungan industri pariwisata dirubah menjadi gabungan asosiasi pariwisata. Menurut hematnya lebih baik dirubah jadi Indonesia Tourism Board sehingga kebijakan yang ada/ dikeluarkan lebih kuat dan pemeirntah dapat terlibat di dalamnya. 38 provinsi memiliki branding yang berbeda-beda, termasuk di tingkatan Kab/Kota. “Kenapa kita tidak menyatukan dalam satu visi dan membawa semangat yang sama dengan mengembangkan branding “Wonderful Indonesia”,”tegasnya.

Ia mengusulkan OSS untuk Travel Agent yang berbasis resiko Rendah agar dinaikan menjadi resiko menengah-tinggi sehingga diatur di Provinsi. Karena tupoksinya adalah lintas negara, tidak cocok ijin dikeluarkan di kabupaten. Dulu zaman Menpar Joop Ave perijinan justru dikeluarkan oleh Dirjen Pariwisata.

Permasalahan saat ini ada pada Law Enforcement. Selama ini penyelesaian masalah seperti pemadam kebakaran (kalau ada masalah, baru bergerak). Peraturan hanya sekadar dibuat, tanpa disertai dengan pengawasan, pengendalian, dan penegakkan di lapangan. Oleh karena itu UU 10/2009 harus ada perbaikan, terutama perihal kompetensi. Ia juga minta aturan yang memasukkan UMKM asing dicabut. “Ada usaha yang punya OSS pariwisata, ternyata trading milik asing dan orangnya tak ada di sini,” ungkapnya.

Hal senada disampaikan Ketua HPI Bali N. Nuarta yang melihat permasalahan saat ini ada di law enforcement. Jangan terus buat aturan tapi tak ada implementasi. Stefanus Chandra dari Biro Perjalanan Wisata menjelaskan kompetensi hal sangat penting dan perlu digalakkan utuk menaikkan kualitas.

Pengurus HIPDI mengatakan Bali sebagai salah satu destinasi wedding terbaik di dunia setelah Italia. Namun saat ini menurun drastis, akibat dampak berbagai faktor seperti sampah dan kemacetan. Dan banyak lokasi wedding yang berbayar cukup mahal termasuk yang dikelola pemerintah. Ia mempertanyakan dukungan pemerintah terhadap industri kreatif.

Akademisi Dr. Gde Cokorda Bayu mengusulkan unsur Kesatuan Masyarakat Adat dimasukkan dalam RUU Pariwisata. Ia melihat pendidikan pariwisata harus dilakukan sejak dini.

Kadek Penggak dari Kelompok Seni Budaya melihat di tengah transformasi saat ini yang orientasinya mencari keuntungan, namun jangan sampai kehilangan jati diri/ aset yang ada. Ia berharap ada kemudahan dalam pemanfaatan ruang-ruang publik terutama yang dikelola Pemerintah dalam rangka pengembangan ekosistem industri kreatif.

Agus Eka dari Kelompok Seni Rupa mengaku kekurangan spot untuk mengadakan acara di level internasional. Untuk itu ia mohon agar difasilitasi pembangunannya dalam rangka pengembangan industri kreatif di Bali.

Kadis Pariwisata Denpasar Ni Luh Putu Riyastiti berharap dalam Revisi UU 10/2019 dapat dimuat perbaikan/peningkatan tata kelola pariwisata, kesehatan (wellness), penguatan peranan asosiasi, pelibatan masyarakat lokal. Di daerah saat ini bingung terkait dengan pemisahan Kementerian. Belum pernah ada Rakornas dari Kementerian Pariwisata untuk menjelaskan arah kebijakan/program kementerian dan Kemen Ekraf belum pernah memaparkan program ke daerah.

IB Hari Kayana dari ISI Denpasar mengaku sebagai film maker agak kesulitan dalam hal distribusi. “Sebagai film maker kami membutuhkan ruang publik sebagai ekosistem. Juga belum ada wadah/ media untuk menampilkan hasil karya film,” ujarnya.

Perwakilan IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia) Bali mengatakan ketika orang datang ke Bali yang dilihat adalah arsitekturnya. “Kita sudah punya UU, Perda tentang arsitektur, namun implementasinya tidak maksimal. Bahkan, profesi arsitek banyak berasal dari WNA. Perlu harmonisasi antara UU Ekraf, Arsitektur serta Perda di daerah,” harapnya.

Menanggapi berbagai aspirasi yang masuk, Rai Mantra mengatakan saat ini kita menghadapi perkawinan antara paham kapitalisme dengan etika budaya, ada ketidakcocokan di dalamnya sehingga salah satunya mengalami distorsi/pergeseran.
Bukan hanya sumber daya berwujud saja yang ada Indonesia, tetapi juga sumber daya tak berwujud, dalam hal ini adalah Modal Budaya. Modal bukan hanya yang bersifat kapitalistik/ materi tetapi juga nilai, norma, pengetahuan.

“Modal Budaya inilah yang menjadi dasar pembangunan kepariwisataan di Bali. Kami rasa aturan yang ada sudah banyak dan sudah bagus, yang diperlukan adalah optimalisasi. Penting juga dibangun kesadaran akan pentingnya Modal Budaya. Apabila sudah memahami apa itu Modal Budaya, maka kita akan mampu untuk mewujudkan pariwisata berkualitas dan berkelanjutan.
Penegakan aturan dan koordinasi antarlintas sektor perlu diperkuat dalam menangani permasalahan yang terjadi,” tegasnya. (ist)