Dialog Publik Prajaniti Buleleng: Tajen Antara Tradisi, Regulasi, dan Kontroversi Legalisasi
(Dutabalinews.com), Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Prajaniti Hindu Indonesia Kabupaten Buleleng menggelar dialog publik bertema “Tajen di Bali: Tradisi, Regulasi, dan Upaya Legalisasi” serangkaian pelantikan pengurus dan anggota masa bakti 2025–2030 di Ruang Rapat IV Kantor Bupati Buleleng, Lantai 2.
Dialog menghadirkan lima narasumber dari berbagai latar belakang, yakni Ida Gede Komang Kresna Budi, S.AP (Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali), Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A (budayawan), Dr. Drs. I Gde Made Metera, M.Si (Ketua PHDI Kabupaten Buleleng), Gede Yoga Satrya Wibawa, S.H., M.H (akademisi), serta Adv. Gede Dimas Bayu Hardi Raharja, S.H., M.H (praktisi hukum).
Acara diawali dengan pelantikan pengurus DPC Prajaniti Buleleng, ditandai dengan pembacaan Surat Keputusan oleh Wakil Ketua DPD Prajaniti Provinsi Bali, TD Yuanpriana Sukariadha, S.H. Adapun DPC Prajaniti Buleleng dipimpin Ketua Dewa Made Agus Januartha, S.I.Kom., didampingi Sekretaris I Gede Diyana Putra, M.Pd. Hadir pula undangan dari kalangan mahasiswa, antara lain BEM Universitas Panji Sakti, HMJ Hukum IAHN Mpu Kuturan, serta pelajar dari SMAN Bali Mandara, SMAN 3 Singaraja, dan SMAN 4 Singaraja.
Dialog publik berlangsung hangat. Narasumber dari DPRD Bali, IGAK Kresna Budi, menegaskan bahwa negara harus hadir mengatur praktik tajen agar memberi manfaat luas, bukan hanya untuk segelintir pihak. Upaya regulasi, menurutnya, harus berbasis naskah akademik dan kajian mendalam. Ia juga menambahkan bahwa di Bali, kearifan lokal telah mengadopsi nilai-nilai konstitusi dan berjalan dengan baik.
Budayawan Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A. memaparkan bahwa tajen merupakan ekspresi budaya masyarakat Bali yang sulit dihapus, tetapi perlu kesadaran individu untuk menghindari dampak judi. Menurutnya, tajen harus diformulasikan agar tidak bertentangan dengan hukum negara.
Sementara itu, Ketua PHDI Buleleng, Dr. Gde Made Metera, M.Si, mengingatkan bahwa tajen sejatinya simbol pengorbanan dalam ritual, namun praktik judi di dalamnya bertentangan dengan ajaran Hindu. “Upaya pelestarian harus memisahkan aspek sakral dan unsur perjudian,” tegasnya.
Akademisi Gede Yoga Satrya Wibawa menambahkan, praktik judi dalam tajen memang dilarang, tetapi regulasi bisa diupayakan, misalnya dalam bentuk festival budaya tanpa perjudian. Sedangkan advokat Gede Dimas Bayu Hardi Raharja dengan tegas menolak legalisasi judi dalam tajen karena bertentangan dengan hukum nasional.
Diskusi juga menyerap aspirasi peserta, mulai dari pelajar hingga aktivis. Mereka menyoroti dampak sosial tajen, seperti kekerasan dalam rumah tangga, relasinya dengan Tri Hita Karana, hingga potensi ekonomi. Sebagian menilai tajen penting secara budaya, namun praktik judi tetap menjadi persoalan hukum dan sosial.
Catatan kritis yang mencuat: legalisasi tajen melalui Perda tidak sah dan berpotensi melawan konstitusi. Jika tajen ingin dilegalkan, prosesnya hanya bisa melalui tingkat nasional, yakni DPR RI atau pemerintah pusat.