Dhamantra: Pemilih Milenial Tak Mudah Dipengaruhi Bansos
(Dutabalinews.com),
Bansos yang kini banyak digebyah uyah para politisi (caleg) maupun pejabat penguasa dinilai memiliki pengaruh sangat besar terhadap pemilih pada pileg 2019 ini.
“Dampaknya sangat mencemaskan terhadap kualitas hasil pileg terutama menyangkut kemampuan bakal pemimpin yang dihasilkan,” ujar Anggota Komisi VI DPR RI Nyoman Dhamantra saat ditanya wartawan, Selasa (26/2) di Denpasar.
Menurut Dhamantra karena bansos tersebut sebagian besar suara pemilih jadi irasional, selain juga dipengaruhi unsur kedekatan dan ‘soroh’. “Saya lihat pengaruh bansos begitu besar mempengaruhi suara pemilih konvensional. Sehingga hasil ini akan berdampak pada kualitas,” jelasnya.
Menurut politisi PDI Perjuangan ini, pemilih saat ini boleh dibilang sebagian besar dipengaruhi bansos. Bahkan angkanya cukup tinggi, bisa sampai 90 persen. Dengan kondisi itu, jelas akan sangat berpengaruh pada kualitas figur yang dipilih nantinya. “Sebab kalau sudah ‘digantung’ bansos, maka pilihan bisa jadi tak rasional,” ungkapnya.
Namun Dhamantra mengingatkan tak semua pemilih bisa dimanja dengan bansos tersebut. Sebab dalam pileg ini jumlah pemilih milenial, kalangan muda sangat besar. “Anak muda ini adalah pemilih cerdas dan sangat rasional sehingga sulit ‘digoyang’ dengan bansos. Mereka pasti melihat program figur yang akan dipilih, bukan karena bansosnya,” tambah anggota dewan dua periode ini. Jadi dari kalangan milenial cerdas ini diharapkan bisa melahirkan pemimpin yang memiliki kemampuan untuk membawa kemanjuan bagi Bali.
Ditanya kenapa bansos begitu kuat mempengaruhi rasionalitas masyarakat, menurut Dhamantra hal itu tidak terlepas dari kondisi ekonomi masyarakat yang tambah berat bebannya. Ekonomi warga lokal khususnya sekarang ini sangat menurun dibandingkan dulu. Bukti kongkrit, dapat dilihat dari tingginya angka transmigrasi. “Krama Bali tak mungkin mau bertransmigrasi kalau tak jatuh miskin,” jelas Dhamantra.
Yang memprihatinkan pula para transmigran ini bahkan juga datang dari kabupaten ‘kaya’ Gianyar yang merupakan daerah subur dan berkembang pariwisatanya. “Ada apa ini, kok Bali yang disanjung pariwisatanya dan menghasilkan devisa begitu besar justru banyak warganya masih miskin dan akhirnya memilih bertransmigrasi,” tanya Dhamantra.
Padahal sesungguhnya kalau dihitung-hitung, dengan jumlah wisatawan ke Bali yang begitu tinggi, semestinya ekonomi warga semakin baik. Bali bisa mendapatkan devisa sangat besar untuk mensejahterakan rakyatnya. Tak ada alih fungsi lahan yang begitu besar karena tekanan ekonomi. Jadi langkah ke depan yang harus bisa direalisasikan adalah bagaimana mengembalikan kemandirian ekonomi krama Bali.
Dulu, krama Bali tak mengalami kesulitan ketika mau bangun pura, melakukan upacara besar di pura dan kegiatan sosial lainnya. “Itu karena kemandirian ekonomi warga lokal terjaga dengan baik sehingga tak perlu ke sana-sini cari bantuan (bansos),” jelas Dhamantra. (bas)