Work From Bali dan PPKM
Apakah arti pentingnya wisatawan mancanegara bagi pariwisata Bali?
PERKEMBANGAN dunia pariwisata di Bali sudah lama tertekan. Betapa tidak, sejak ditutupnya penerbangan internasional pada bulan Maret 2020 yang lalu, tidak ada wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali.
Berita akan dibukanya kembali penerbangan luar negeri begitu memberi harapan bagi pelaku usaha pariwisata di Bali. Sebab, jumlah wisatawan mancanegara sebanyak sekitar 6 juta orang per tahun, meskipun lebih sedikit dibandingkan wisatawan nusantara yang jumlahnya 10 juta per tahun, namun pengeluarannya sebesar 2 juta rupiah per hari atau sekitar 4 kali pengeluaran wisatawan nusantara. Sementara itu waktu tinggalnya (length of stay) rata rata 10 hari atau sekitar 2 kali lebih lama dibandingkan waktu tinggal wisatawan nusantara.
Kapan kah wisatawan mancanegara akan datang ke Bali?
Pada awal masa pandemi Covid-19 tahun 2020, wisatawan mancanegara diperkirakan akan datang pada awal tahun 2021 ini. Hal ini didukung oleh kondisi pandemi yang mulai membaik pada akhir tahun lalu dan diselenggarakan program vaksinasi di tahun 2021. Keseriusan pemerintah daerah dan masyarakat Bali melaksanakan vaksinasi didukung oleh pasokan vaksin yang cukup dari pusat menyebabkan proses vaksin di Bali tercapai sesuai target kepada sekitar 3 juta orang. Saat ini pemberian vaksin ke 2 sudah mencapai lebih dari 70% sehingga proses mencapai titik kekebalan masyarakat (herd immunity) dapat segera tercapai.
Namun ternyata, kenyataan tidak sebaik perkiraan semula. Kondisi Covid-19 di dunia diwarnai adanya serangan gelombang kedua (second wave). Bahkan muncul varian covid yang lebih berbahaya dibandingkan dengan Covid-19. Di Indonesia, kondisi covid yang sempat membaik pada bulan November 2020 dengan kasus harian sekitar 2.000 orang, ternyata melonjak menjadi 14.500 kasus harian pada bulan Januari 2021. Rencana pembukaan pintu wisatawan tertunda hingga menjadi bulan Juli 2021.
Pada waktu itu dunia pariwisata harus kembali bersabar menanti datangnya wisman. Banyak sekali laporan mengenai terjadinya penutupan hotel dan vila akibat sama sekali tidak ada pengunjung. Sementara itu hotel dan vila yang masih buka pun terpaksa memangkas gaji karyawannya hingga 50% akibat sepinya jumlah tamu.
Kini, pelaku pariwisata harus kembali bersabar. Kondisi penyebaran Covid-19 nasional pada tanggal 24 Juni 2021 kembali melonjak tinggi sebesar 20.574 orang, lebih tinggi dari kasus harian tertinggi sebelumnya yang pernah terjadi di bulan Januari. Sementara itu kondisi dunia masih diwarnai pembatasan secara ketat bahkan penutupan arus perlintasan antar negara. Pembukaan wisatawan mancanegara diperkirakan akan ditunda hingga kuartal III tahun 2021.
Bagaimana strategi dunia pariwisata Bali menghadapi masalah ini?
Harapan dunia pariwisata tertumpu pada wisatawan nusantara. Persiapan menanti datangnya wisatawan nusantara dilakukan mulai dari penerapan CHSE hotel-hotel, restoran, daerah tujuan wisata, pemberian insentif termasuk diskon akomodasi dan transportasi sampai dengan promosi menggunakan media sosial terkini.
Namun kedatangan wisatawan nusantara pun seolah mengalami hambatan. Pada akhir tahun 2020, kedatangan wisatawan nusantara ke Bali dibatasi dengan adanya ketentuan tes PCR. Harapan kedatangan banyak wisatawan berlibur akhir tahun pun menurun. Harapan kembali ditumpu pada libur lebaran bulan Mei 2021. Kedatangan wisatawan nusantara kembali mengalami hambatan dengan diberlakukannya larangan mudik. Ternyata, pembatasan perlintasan ini sangat beralasan karena ditujukan untuk mencegah kenaikan kasus Covid-19 yang pada tahun 2020 pernah terjadi bersamaan dengan datangnya masa liburan.
Saat ini kondisi covid di Indonesia kembali meningkat cukup tajam. Kasus kenaikan harian covid 19 nasional pada tanggal 24 Juni 2021 kembali melonjak tinggi sebesar 20.574 orang, lebih tinggi dari kasus harian tertinggi sebelumnya sebesar 14.500 orang yang pernah terjadi di bulan Januari. Pemerintah provinsi Bali selama ini sangat menaruh perhatian pada penanganan covid ini. Perhatian ini tampak dengan pemberlakuan kewajiban 3M, 6M dan pembatasan kegiatan masyarakat (PKM), bahkan sebelum pemerintah memberlakukan kewajiban PSBB kepada Bali.
Apa strategi untuk meningkatkan kedatangan wisatawan nusantara ke Bali?
Menghadapi kondisi tersendatnya kedatangan wisatawan nusantara ke Bali, pemerintah daerah melakukan negosiasi agar pemerintah pusat memberikan perhatian lebih kepada Bali. Salah satu proposal yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat adalah program Work From Bali. Program ini juga didukung oleh beberapa kementerian dan lembaga lain serta BUMN. Bappenas, Kementrian Keuangan, Pertamina, Telkom, Pelindo mulai berkantor di Bali. Bank Indonesia akan menerapkan 3 kegiatan dalam mendukung program Work From Bali yaitu working in Bali, meeting in Bali dan training in Bali. Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi menganjurkan agar 7 kementerian di bawahnya memulai program Work From Bali secepatnya.
Pemerintah daerah provinsi Bali mempersiapkan dengan baik sarana mendukung program work from Bali antara lain dengan menunjuk hotel, rumah sakit dan daerah wisata yang telah CHSE. Tetapi pada saat yang sama, Bali kembali mendukung diberlakukannya perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PPKM–Mikro) yang dicanangkan secara nasional.
Apakah ketidakhadiran wisatawan mancanegara pada saat ini masih harus disertai dengan kebijakan pembatasan mobilitas?
Program Work From Bali yang membawa konsekuensi kedatangan ribuan orang ke Bali. Pada saat yang bersamaan, Indonesia sedang menghadapi kondisi kenaikan kasus harian covid 19 cukup signifikan. Tingginya kasus harian khususnya di Jawa beresiko menular ke Bali mengingat media screening penumpang berupa swab antigen belum menjamin sepenuhnya seseorang bebas covid. Oleh karena itu maka program Work From Bali harus disertai penerapan protokol kesehatan yang ketat dan PPKM Mikro.
Apakah kondisi perekonomian Bali yang sudah terkontraksi mendalam tidak diatasi dengan kebijakan pelonggaran mobilitas manusia?
Jawabannya adalah bahwa kebijakan pembatasan mobilitas manusia baik itu berupa penerapan protokol kesehatan, PSBB maupun PPKM, semuanya ditujukan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Kebijakan untuk tujuan kesehatan selaras dengan kebijakan untuk tujuan ekonomi, tidak bertentangan. Studi yang dilakukan oleh Bernard H Casey, konsultan untuk OECD, pada bulan November 2020 menunjukkan bahwa tidak terbukti adanya pertentangan (trade-off) antara ekonomi dengan kesehatan. Artinya, kebijakan untuk menjaga kesehatan masyarakat tidak terbukti mengorbankan perekonomian. Hasil studinya menyimpulkan bahwa negara yang memperhatikan kesehatan terlebih dahulu akan memperolah kedua duanya. Sementara itu negara yang mengorbankan kesehatan akan menghadapi tingkat kematian yang tinggi dan justru mengorbankan ekonomi.
Selain itu, studi yang dilakukan oleh Katleen Manipis (Maret, 2021) terhadap seribu orang Australia menunjukkan bahwa semua orang sependapat dilakukannya pembatasan mobilitas, demi mencegah penyebaran covid 19. Meskipun demikian, sebagian besar (57%) menginginkan pembatasan secara ringan, sedangkan 43% menginginkan pembatasan secara ketat.
Apakah kebijakan pelonggaran mobilitas membawa konsekuensi bidang kesehatan?
Jika kita berkaca pada kondisi perekonomian kita, pemberlakuan pembatasan sosial yang cukup ketat tahun 2020 telah menghasilkan penurunan kasus harian covid 19 yang mencapai titik terendah pada bulan November 2020 sekitar 2.000 orang. Kinerja yang baik ini sedikit menurun dengan adanya pelonggaran pembatasan mobilitas PSBB tepatnya pada awal tahun 2021 hingga kasus harian kembali melonjak hingga mencapai 14.000 di bulan Januari 2021. Kebijakan pembatasan mobilitas termasuk larangan mudik mendapat banyak pertentangan hingga masih terdapat pihak menolak.
Apakah kebijakan pelonggaran mobilitas membawa konsekuensi bidang ekonomi?
Masih terdapat anggapan bahwa pembatasan mobilitas menghambat perekonomian menyebabkan desakan kepada pemerintah untuk memberlakukan pelonggaran pembatasan mobilitas. Hasilnya beberapa daerah di Jawa mengalam pertumbuhan yang cukup baik. Pada saat pertumbuhan ekonomi nasional kuartal I 2021 masih terkontraksi, pertumbuhan ekonomi provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur hanya terkontraksi tipis di bawah 1%, sementara itu Riau dan DI Yogyakarta bahkan sudah mengalami pertumbuhan positif masing masing 0,4% dan 6,1%.
Sayang sekali pertumbuhan ekonomi ini disertai dengan kenaikan kasus harian covid cukup tinggi. Di Jawa Barat kasus harian naik dari 300-an bulan April 2021 menjadi 3.432 pada tanggal 22 Juni 2021. Di Jawa Tengah kasus harian naik dari 200-an pada Maret 2021 menjadi 2.439 pada tanggal 22 Juni 2021. Di Jawa Timur, kasus harian melonjak dari 150-an pada bulan Februari 2021 menjadi 746 orang pada bulan 22 Juni 2021.
Sementara itu di Yogya kasus harian melonjak dari 100-an pada bulan Februari 2021 menjadi 675 orang pada tanggal 22 Juni 2021. Di Riau, kasus harian yang sempat berada dibawah angka 100 orang bulan Februari 2021, melonjak menjadi 615 orang pada bulan tanggal 2 Juni 2021. Menghadapi lonjakan kasus covid ini, pemerintah harus memberi perhatian yang lebih besar untuk perawatan, pengobatan dan pencegahan lebih lanjut sehingga akan menguras biaya dan tenaga yang seharusnya dapat dialokasikan untuk ekonomi. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan selanjutnya akan kembali tertekan.
Jadi sebaiknya kebijakan apa yang harus ditempuh untuk tujuan ekonomi?
Mengacu kepada studi Bernard H. Casey (2020), maka pengorbanan kepada aspek kesehatan akan membawa peningkatan kasus covid 19 yang kemudian justru berdampak pada tekanan terhadap yang lebih mendalam terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, pelonggaran perhatian kepada aspek kesehatan hanya akan membawa pertumbuhan ekonomi sesaat, karena dampak selanjutnya adalah meningkatkan biaya yang akhirnya secara keseluruhan tahun justru akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Hasil studi Bernard dan pelajaran berharga dari kenaikan kasus harian akhir akhir ini membawa pelajaran berharga bahwa pembatasan sosial baik berupa PSBB, PPKM, atau pemberlakuan protokol kesehatan secara ketat, tidak akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Justru pelonggaran terhadap protokol kesehatan itu yang sudah pasti berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi secara tahunan, meskipun kelihatannya membangkitkan perekonomian dalam jangka pendek. *M. Setyawan Santoso, Pemerhati Ekonomi, Bekerja di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali.