Air Kita Teracuni: Darurat Pencemaran Perairan di Indonesia
(Dutabalinews.com), Di balik keelokan hamparan laut biru dan sungai-sungai besar yang mengalir membelah negeri, tersimpan kenyataan pahit: perairan Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat. Limbah rumah tangga, limbah industri, pertambangan, hingga pestisida dari lahan pertanian terus mencemari air yang menjadi sumber kehidupan. Ironisnya, banyak dari kita masih memandang masalah ini sebagai isu pinggiran, bukan prioritas. Padahal, kerusakan ekosistem dan ancaman kesehatan masyarakat kini kian nyata dan tak terbendung.
Pencemaran air di Indonesia tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah buah dari kombinasi aktivitas manusia yang masif, lemahnya regulasi, dan rendahnya kesadaran kolektif. Limbah domestik, contohnya, masih menjadi salah satu kontributor utama pencemaran air. Di kota-kota besar, instalasi pengolahan air limbah sering kali belum mampu menampung atau mengolah seluruh limbah cair yang dihasilkan rumah tangga. Surabaya menjadi contoh nyata: menurut Noegraha (2025), 49,44% air sungai di kota ini telah tercemar berat akibat tingginya konsentrasi limbah domestik dan industri.
Industri tahu dan tempe, meskipun tergolong usaha mikro, menyumbang dampak signifikan terhadap pencemaran perairan jika limbahnya tidak dikelola dengan benar. Ramadan & Sarminingsih (2025) mencatat bahwa limbah cair tahu yang mengandung kadar BOD dan COD tinggi mempercepat proses eutrofikasi di sungai-sungai sekitar sentra produksi. Belum lagi sektor pertambangan, terutama batubara, yang menjadi salah satu penyumbang limbah logam berat seperti kadmium dan merkuri. Kedua zat ini sangat beracun bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Studi Ariyanti et al. (2024) menemukan bahwa area tambang aktif di Kalimantan memperlihatkan konsentrasi logam berat yang melebihi ambang batas baku mutu.
Pertanian yang selama ini dianggap sebagai kegiatan ramah lingkungan ternyata juga menyumbang pada krisis ini. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan menyebabkan larinya residu bahan kimia tersebut ke perairan melalui aliran permukaan (runoff), mengganggu keseimbangan mikroorganisme air, dan merusak biodiversitas. Salwa (2024) menunjukkan bahwa konsentrasi pestisida tertentu mampu memicu keracunan pada plankton dan ikan kecil, yang kemudian berdampak pada seluruh rantai makanan dalam ekosistem akuatik.
Salah satu ancaman paling mengkhawatirkan adalah sampah plastik dan mikroplastik. Dengan produksi tahunan mencapai jutaan ton, plastik yang tidak terkelola akhirnya berakhir di sungai dan laut. Qaniah et al. (2025) mencatat bahwa Indonesia menyumbang 3,2 juta ton sampah plastik ke laut setiap tahunnya. Mikroplastik bahkan telah ditemukan dalam tubuh ikan konsumsi, garam dapur, dan air minum, artinya partikel ini telah masuk ke dalam tubuh manusia.
Pariwisata yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah ternyata juga tidak lepas dari peran dalam mencemari lingkungan air. Wilayah wisata seperti Bali, Raja Ampat, dan Labuan Bajo menghadapi beban pencemaran dari limbah hotel, restoran, kapal wisata, dan aktivitas pengunjung. Samudra et al. (2025) menyatakan bahwa peningkatan aktivitas pariwisata yang tidak disertai sistem pengelolaan limbah yang memadai justru mempercepat degradasi kualitas air di kawasan wisata unggulan.
Masalah pencemaran air membawa dampak yang lebih luas daripada sekadar perubahan fisik atau kimiawi dalam air. Ini menyentuh aspek kesehatan publik, keberlanjutan ekonomi, dan ketahanan pangan nasional. Air yang tercemar logam berat dan mikroorganisme patogen menjadi sumber berbagai penyakit menular dan degeneratif. Wabah diare, leptospirosis, kolera, hingga kanker dan gangguan sistem saraf berkaitan erat dengan konsumsi air yang tidak layak. Mirtasari (2024) menunjukkan bahwa kontaminasi air dengan kadmium meningkatkan risiko kerusakan ginjal kronis dan gangguan metabolik lainnya.
Tak hanya kesehatan, kelangkaan air bersih juga menjadi tantangan tersendiri. Ironisnya, Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim justru menghadapi krisis air bersih di berbagai wilayah. Banyak desa, bahkan kota-kota kecil, masih bergantung pada air sungai atau air tanah dangkal yang telah tercemar. Menurut Handayani & Oktavia (2025), masyarakat di pedesaan sekitar Kalimantan Tengah mengalami penurunan kualitas air tanah akibat pencemaran limbah sawit dan aktivitas domestik tanpa sistem sanitasi.
Sektor perikanan yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi pesisir pun terdampak. Petani tambak melaporkan kematian massal ikan dan udang akibat masuknya limbah cair dari industri dan rumah tangga ke saluran irigasi. Noer et al. (2025) mengidentifikasi bahwa kandungan amonia dan deterjen dari limbah domestik menyebabkan penurunan kualitas air tambak, yang pada akhirnya merugikan petambak dan mempengaruhi pasokan pangan nasional.
Meski demikian, harapan masih ada. Berbagai pendekatan berbasis teknologi dan edukasi telah diujicobakan di berbagai wilayah Indonesia. Salah satunya adalah penggunaan bakteri indigenous dalam proses bioremediasi limbah logam berat. Mirtasari (2024) menunjukkan bahwa isolat bakteri dari TPA Piyungan mampu menurunkan konsentrasi logam kadmium secara signifikan dalam limbah cair industri tekstil.
Inovasi lain datang dari pemanfaatan tanaman vetiver (akar wangi) yang dikombinasikan dengan zeolit sebagai media filtrasi alami. Qaniah et al. (2025) menemukan bahwa sistem ini mampu menurunkan kadar total suspended solids (TSS) dan chemical oxygen demand (COD) hingga 70% dari limbah laundry. Teknologi ini ramah lingkungan, murah, dan mudah diterapkan di tingkat rumah tangga maupun skala komunitas.
Teknologi microbubble juga menunjukkan hasil menggembirakan dalam pengolahan limbah rumah tangga. Teknologi ini meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air dan mempercepat proses degradasi bahan organik. Program percontohan di Bogor yang dilaporkan oleh Noer et al. (2025) menunjukkan peningkatan signifikan dalam kualitas air limbah yang diolah.
Di tingkat masyarakat, pendekatan edukatif seperti program pelatihan pengelolaan sampah terbukti efektif. Di Desa Goha, Kalimantan Tengah, Handayani & Oktavia (2025) mencatat bahwa pelatihan intensif mengenai pemilahan dan pengelolaan sampah domestik menurunkan pencemaran sungai sekitar secara signifikan. Pendekatan ini menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari komunitas akar rumput.
Tidak kalah penting adalah pendekatan kreatif seperti penggunaan media komik digital untuk edukasi lingkungan. Manurung et al. (2024) memaparkan bahwa kampanye edukatif melalui komik digital di Jawa Timur berhasil meningkatkan kesadaran remaja terhadap bahaya mikroplastik dan pentingnya pengelolaan sampah berbasis rumah tangga.
Namun, semua upaya teknis dan sosial ini tidak akan maksimal tanpa dukungan regulasi dan penegakan hukum yang kuat. Indonesia sebenarnya telah memiliki kerangka hukum yang cukup komprehensif dalam perlindungan lingkungan, seperti Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021, dan Peraturan Menteri LHK No. P.68/MENLHK-SETJEN/2016. Sayangnya, implementasi di lapangan masih lemah. Banyak industri yang belum memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL), atau memilikinya namun tidak difungsikan secara optimal. Pengawasan dan sanksi juga cenderung lunak dan tidak menimbulkan efek jera.
Perlu ada komitmen politik yang lebih kuat serta peran aktif masyarakat sipil dalam pengawasan lingkungan. Media, LSM, akademisi, hingga kelompok pemuda dapat memainkan peran penting sebagai penjaga moral dan teknis dalam proses pengelolaan lingkungan. Partisipasi publik dalam menyuarakan pentingnya air bersih, baik di forum kebijakan maupun dalam pemilu, adalah langkah penting menuju perubahan.
Sebagai individu, kita juga memiliki peran yang tidak bisa dianggap remeh. Tindakan sehari-hari seperti mengurangi penggunaan deterjen berbahan fosfat, tidak membuang sampah sembarangan, memilah sampah, hingga mendukung program daur ulang, adalah kontribusi nyata terhadap pelestarian air. Mengadvokasi pengadaan instalasi pengolahan limbah di tingkat RT/RW atau desa juga bisa dimulai dari komunitas kecil.
Air adalah sumber kehidupan. Ketika air tercemar, maka kehidupan pun terancam. Indonesia tidak kekurangan inovasi dan solusi, tetapi kekurangan aksi dan ketegasan. Sudah saatnya kita membalik keadaan: dari krisis menuju harapan, dari kelalaian menuju kesadaran. Kita tidak sedang kekurangan air — kita hanya mengabaikannya.
Penulis:
Haikal Hidayat
Mahasiswa Prodi Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Pertanian Sains dan Teknologi
Universitas Warmadewa