Hadiri Talkshow Distrik BerisiK, Rai Mantra Dorong Anak Muda Berani Menyampaikan Pendapat

(Dutabalinews.com), Dunia pendidikan menjadi sorotan mulai dari banyaknya anak muda yang tidak tertarik melanjutkan namun memilih bekerja serta siswa yang lambat membaca dan terjadinya krisis guru. “Banyak anak muda yang memilih kerja ke luar negeri. Mereka merasa cukup sampai tamat SMK dan bisa langsung kerja. Lantas siapa yang nantinya menjaga adat dan budaya kalau anak muda memilih ke luar negeri. Demikian antara lain mengemuka dalam acara Talkshow Distrik BerisiK “Keresahan Jadi Gagasan, Gagasan Jadi Gerakan” yang berlangsung di Hope Coffee Sidakarya Denpasar, Minggu (22/6/2025).

Talkshow yang menghadirkan narasumber Anggota DPD RI Perwakilan Bali Dr. I.B. Rai Dharmawijaya Mantra dan Praktisi Hukum Andi Resa Fardyansah ini diikuti puluhan anak muda dari berbagai kalangan serta pendidik. Para anak muda ini bahkan ada yang dari siswa SMA silih berganti mengemukakan pendapatnya secara lugas. ‘Harus tulus, lurus namun serius’. ‘Jadilah orang yang berisik, berisik untuk membawa perubahan’. ‘Stop anak mule keto, ganti kok bise keto’. Mereka juga menyoroti tingginya alih fungsi lahan yang makin masif, banyak jalan rusak serta keroposnya dunia pendidikan.

“Ada siswa SMP gak bisa membaca, ini sangat memprihatinkan,” ungkap mereka. Andi Resa Fardyansah Praktisi Hukum yang juga politisi ini mengaku sengaja datang jauh-jauh dari Jakarta karena tertarik untuk hadir di forum BerisiK ini.

Ia membeberkan tentang hukum khususnya tentang UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang bisa membawa masalah hukum seperti perbuatan yang tidak menyenangkan. “Yang bisa dilaporkan penghinaan, bukan kritik. Kita dianggap menghina ketika itu dituduhkan ke orang lain. Beda dengan kritik yang harus ada perbuatan,” ujarnya.

“Bersuara itu bisa menjadi sesuatu yang riskan. Jadi kalo mau mengkritik harus fokus pada objeknya, aturannya, jangan menyerang personnya. Bisa ajukan yudicial review,” tambah Resa. Di sisi lain, ia menyebut potensi besar bangsa ini. 54 persen adalah Gen Z. Ini sangat potensial. Cuma saja daya kritisnya harus digali lebih dalam lagi dan logik.

Sementara Rai Mantra mendorong anak muda agar berani menyampaikan pendapatnya. Demokrasi membuka ruang bagi warga untuk mengemukakan pendapatnya. Kebebasan berpendapat adalah hak asasi manusia yang penting dan dijamin konstitusi. Namun kebebasan tersebut tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi sesuai dengan prinsip negara hukum. “Saat saya jadi Walikota banyak masukan dan kritik. Biasalah kalau warga bilang Pak jalannya rusak, yaa kita harus sabar. Jangan memperkeruh, hal kecil jadi besar,” ujar Walikota Denpasar dua periode ini.

Namun Rai Mantra mengingatkan pintar harus bisa diimbangi spiritual yang kuat sehingga bisa mengendalikan emosi. “Kalau emosional maka akan jadi lemah,” tambahnya. Peserta diskusi, Putu Andika menyoroti keroposnya pendidikan saat ini. Seperti ada anak SMP lambat membaca, ada sekolah krisis guru (Klungkung). Lantas bagaimana menyambut Indonesia Emas 2045. Ia melihat salah satu penyebabnya karena pendidikan belum menjadi prioritas utama.

Rai Mantra mengakui apa yang terjadi tidak terlepas dari kurikulum yang memang belum maksimal bisa diimplementasikan. Perlu waktu cukup agar kurikulum bisa efektif. Kurikulum kerap berubah, juga kondisi tidak sama dan merata. Dicontohkan ada aturan siswa yang tak boleh tidak naik kelas. Kalau melihat Human Capital Indonesia maka perlu langkah serius untuk meningkatkan kualitas guru agar lebih paham dan profesional dengan bidang ajarnya.

“Jadi untuk memajukan SDM maka kualitas guru harus terus ditingkatkan,” ujarnya. Contoh Jepang ketika kalah perang, langkah yang dilakukan adalah menanamkan ‘budaya maju’ salah satunya dengan menggenjot pendidikan. “Selain kualitas juga harus ada relevansi. Saya lihat kurikulumnya sudah bagus cuma perlu diberi waktu untuk tenaga pendidik. Juga masih ada kriminalisasi guru. Jadi perlu perlindungan guru,” tambahnya. Dalam diskusi juga mengemuka soal anggaran pendidikan sebesar 20 persen yang belum merata. Jadi perlu ada kontrol sosial. Juga sorotan Merdeka Belajar yang dianggap pendidikan lebih mengarah membentuk siswa jadi pekerja, bukan menciptakan lapangan kerja. (ist)