Hakim Tinggi Denpasar Sumpeno Raih Doktor di Trisakti
(Dutabalinews.com),Sumpeno, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Denpasar berhasil meraih gelar doktor setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Kepastian Hukum Putusan Peradilan Perdata Terhadap Putusan Yang Memuat Konten Non Executable”, di Aula Serba Guna Lantai 5 Gedung Perkuliahan Universitas Trisakti, Jalan Mega Kuningan Barat Nomor 7 Jakarta Selatan, Sabtu (29/8/2020).
Dalam keterangan persnya di Denpasar, doktor Sumpeno mengatakan bahwa eksekusi perkara perdata yang gagal dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri disebabkan salah satunya adalah karena amar putusan hakim yang saling tumpah tindih, selama ini belum diatur di peraturan perundangan.
“Dalam tanya jawab dengan dewan penguji yang berlangsung selama satu jam, saya mengusulkan untuk mengisi kekosongan hukum agar Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang mengatur mengenai Tata Cara Pengajuan Gugatan Kembali Atas Putusan Yang Non Executable, yang bisa dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim di 4 (empat) lingkungan badan peradilan,” tuturnya.
Dalam sidang terbuka yang berlangsung pukul 09.00 WIB itu, Sumpeno diuji oleh Prof. Dr. Eriyantauw Wahud, SH., MH.,yang juga selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Prof. Dr. Abdulllah Sulaiman, SH., MH., Dr. Endyk M. Asror, SH, MH. (Co-Promotor), Dr. Gunawan Djajaputra, SH., SS., C.N., MH. (Co-Promotor) dan Dr. Endang Pandamadari, SH., C.N., MH.
Lebih lanjut Sumpeno mengatakan dalam Perma tersebut bisa diatur misalnya, perkara gugatan kembali tersebut diperiksa oleh hakim tunggal dan dilakukan oleh hakim yang menangani perkara semula (jika belum mutasi), waktu penyelesaiannya 30 hari sejak sidang pertama, kepada pihak yang kalah dalam gugatan kembali tersebut, tidak disediakan upaya hukum, dsb.
Dalam pandangan Sumpeno selama ini masih banyak ditemukan pendapat hakim yang mengatakan bahwa urusan eksekusi adalah urusan Ketua Pengadilan Negeri, bukan urusan hakim pemutus perkara. Sumpeno menghendaki agar ke depan hakim pemeriksa perkara harus progresif, harus paripurna artinya hakim juga harus mengemban nama lembaga, jika sudah terlihat sejak awal bahwa jika gugatan dikabulkan amar putusannya tidak akan bisa dieksekusi, maka sebaiknya gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet ontvankelijke verklaard). Jangan menunggu sampai inkracht, karena bisa memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit.
“Orang ke pengadilan adalah untuk mencari keadilan, karena itu sangat efektif jika ketika gugatannya sudah terlihat error sejak awal, maka disegerakan untuk dinyatakan tidak dapat diterima (Niet ontvankelijke verklaard). Dengan demikian asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 tahun 2009) dapat terwujud. Itu salah satu cara untuk mengurangi putusan yang non executable (tidak bisa dilaksanakan), mungkin cara lain juga ada, tetapi itu tidak saya teliti,” pungkasnya.
Sumpeno menjelaskan ketentuan eksekusi dalam Hukum Acara Perdata hanya menjangkau terhadap perkara yang bisa dieksekusi (executable) yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 195 HIR yang pada pokonya menyatakan, bahwa pihak yang kalah dalam perkara, jika tidak mau melaksanakan isi putusan dengan damai, maksudnya secara suka rela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan.
Tetapi terhadap putusan hakim yang tidak bisa dieksekusi (non executable), hukum acara tidak mengaturnya. Dalam penelitian Sumpeno ada sebuah perkara yang sudah dimenangkan salah satu pihak hingga pemeriksaan peninjauan kembali Mahkamah Agung, tetapi amar putusan yang di atas telah berentangan dengan amar putusan yang ada di bawahnya, karena itu putusan tersebut dinyatakan non executable (tidak dapat diaksanakan).
“Kalau pihak yang menang kemudian mengajukan gugatan kembali sekedar untuk memperbaiki petitum (apa yang diminta) agar supaya putusan hakim nantinya bisa dilaksanakan, apakah akan memenuhi prosedur seperti gugatan awal, artinya terhadap yang kalah bisa ditempuh upaya hukum banding, kasasi, peninjauan kembali, yang melelahkan itu?,” katanya.
Hal yang demikian belum diatur oleh hukum acara perdata. Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, maka ke depan Mahkamah Agung demi keseragaman pelaksanaan hukum harus perlu mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang mengatur Tata Cara Pengajuan Gugatan Kembali Atas Putusan Yang Berkonten Non Executable, yang di dalamnya di antaranya mengatur perihal sebagai berikut :
a. Penggugat yang sudah dinyatakan menang dalam putusan hakim, maka yang bersangkutan mengajukan gugatan kembali dengan memperbaiki petitumnya agar menjadi sinkron;
b. Dalam pengajuan gugatan kembali tersebut, Penggugat yang sudah dikabulkan gugatannya pada gugatan awal, maka tidak perlu lagi mengajukan pembuktian, baik berupa bukti tertulis maupun bukti lainnya;
c. Ketua Pengadilan Negeri sedapat mungkin menunjuk hakim yang menangani gugatan kembali tersebut dengan hakim tunggal yang merupakan hakim yang menangani gugatan awal;
d. Jangka waktu pengajuan gugatan kembali ditentukan 8 (delapan) hari sejak diterima penetapan non executable;
e. Untuk pelaksanaan persidangan, kedua belah pihak yang berperkara yaitu Penggugat dan Tergugat dipanggil sesuai dengan ketentuan HIR/Rbg;
f. Penyelesaian gugatan kembali oleh hakim pemeriksa perkara ditentukan selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak panggilan sidang pertama.
g. Gugatan kembali akan dinyatakan gugur apabila Penggugat tersebut tidak hadir tanpa alasan yang sah;
h. Hakim yang memeriksa perkara gugatan kembali wajib mengabulkan gugatan kembali, apabila petitum yang satu sudah sinkron dengan petitum lainnya;
i. Putusan atas gugatan kembali tersebut dapat digunakan oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan putusan (eksekusi);
j. Gugatan kembali tersebut tidak berlaku apabila pada perkara semula ada gugatan dari pihak ketiga, yang sebelumnya tidak termasuk sebagai pihak di dalam gugatan awal;
k. Terhadap putusan gugatan kembali tidak diperkenankan adanya upaya hukum dengan alasan:
1) Tidak dibukanya upaya hukum untuk gugatan kembali ini akan segera menjadi inkracht van gewijsde, karena itu putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum untuk segera dilaksanakan.
2) Diberikannya titel pelaksanaan putusan lebih dahulu (uit voorbaar bij voorraad) walau ada upaya hukum verzet, banding maupun kasasi adalah merupakan dibukanya pintu bagi Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan isi putusan hakim.
3) Demi terciptanya asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg Jo. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, karena pada umumnya pemeriksaan perkara jika sampai Mahkamah Agung biasanya akan memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang tidak sedikit.
4) Menghindari tumpang tindihnya putusan hakim, perkara yang terdahulu yang sudah dipertimbangkan dengan baik dan hanya ada kekurang sempurnaan petitum, yang diperiksa kembali sejak awal dan disediakan upaya hukum lagi, maka putusannya bisa berbeda-beda, yang tendensinya justeru menyulitkan eksekusinya.
5) Menghindari penumpukan perkara di Mahkamah Agung, karena perkara yang disidangkan di Mahkamah Agung adalah bersumber dari pengadilan yang berada di bawahnya.
6) Perkara tersebut sudah ditangani hingga Mahkamah Agung, baik hanya sampai tingkat kasasi maupun sampai dengan ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Pandangan penulis, dalam hal perkara sudah diputus oleh Mahkamah Agung, maka perkara tersebut sudah dianggap sempurna pemeriksaannya.
7). Demi efektifitas dan kemanfaatan putusan itu sendiri yang langsung bisa dirasakan oleh pencari keadilan (yustisiabelen).
Sidang Ujian Terbuka sendiri berlangsung dengan hikmat karena menurut aturan di Universitas Trisakti terkait di masa pandemic/covid-19 ini hanya boleh dhadiri 10 orang pengunjung, di antaranya istri Sumpeno bersama Ketua PT Denpasar Zaid Umar Bobsaid, wakil ketua KPK Nawawi Pomolango, Dewan Pengawas KPK Albertina Ho, Dr, Reda Manthovani, Kepala Biro Perencanaan Kejaksaan Agung RI.(bro)