Sambut Pilpres 2024: Cerdas dalam Memilih Pemimpin
PEMILIHAN presiden tahun 2024 diprediksi akan berlangsung sengit. Politik identitas mulai dihembuskan. Di media sosial masing-masing relawan sudah mulai saling serang. Perang sudah dimulai. Akankah masyarakat Indonesia akan terpecah lagi seperti pemilihan presiden tahun 2019?
Politik identitas merupakan senjata ampuh untuk memenangkan salah satu kandidat. Apalagi isu-isu SARA disenggol-senggol akan membuat situasi politik lebih runyam lagi. Masyarakat akan terkotak-kotak dan akan terus seperti ini jika politik identitas dan isu SARA dijadikan senjata untuk mendulang suara.
Baru-baru ini, Jusuf Kalla melontarkan pernyataan bahwa lebih dari 50% ekonomi Indonesia dikuasai penduduk etnis Tionghoa. Menurutnya di Indonesia penduduk Tionghoa itu hanya 4,5% tapi menguasai ekonomi lebih dari 50% jadi kekuatannya 10 kali lipat daripada jumlahnya.
Pernyataan itu dilontarkan pada 12 Mei 2023 lalu, tepatnya di acara halal bihalal Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau ICMI (Wartaekonomi.co.id). Pernyataan-pernyataan seperti ini seharusnya dihindari. Masyarakat tentu masih ingat tentang kerusuhan Mei 1988. Kerusuhan itu merupakan kerusuhan yang berbau rasial terhadap etnis Tionghoa.
Kerusuhan seperti itu tentu tidak diinginkan lagi tetapi mengapa seorang tokoh dan negarawan sekelas Jusuf Kalla melontarkan pernyataan seperti itu? Apabila itu benar, pernyataan itu hendaknya jangan disampaikan menjelang tahun politik yang situasinya sudah menghangat.
Situasi politik semakin gerah dengan ditetapkannya Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate sebagai tersangka dugaan korupsi proyek pembangunan BTS 4G Bakti Kominfo 2020-2022 oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Isu-isu berkaitan dengan kasus ini kencang berhembus.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa kasus tersebut sangat kental dengan politik sedangkan yang lain menyatakan tidak berhubungan dengan politik. Masyarakat tentu dibuat kebingungan. Yang mana benar dan yang mana salah. Politik memang tidak bisa dilepaskan dengan kekuasaan. Orang berkuasa karena politik. Terkadang politik itu menyesatkan. Masyarakat disuguhkan dengan kampanye hitam. Masyarakat terhasut dan mempercayai kampanye hitam yang dilakukan oleh pendukung calon pemimpin tersebut.
Suguhan perpolitikan yang cenderung rasis dan beraroma SARA tidak memberikan pendidikan politik kepada kelompok pemilih usia muda. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI August Mellaz mengatakan komposisi pemilih dalam Pemilu 2024 akan didominasi oleh kelompok usia muda.
Jumlah kelompok ini disebut mencapai 60 persen dari total pemilik suara sah. Hal ini menandakan bahwa pemilih usia muda akan menjadi lokomotif dalam menentukan arah pembangunan bangsa ini. Apabila pemilih usia muda selalu disuguhi suasana perpolitikan yang menyinggung SARA dan politik identitas tentu memengaruhi cara pikir dan cara pandang pemilih usia muda tentang perpolitikan. Tidak mustahil apabila generasi muda kelak menjadi pemimpin bangsa, mereka akan menerapkan cara-cara kotor yang dilakukan seniornya.
Politik terkadang kotor karena nafsu kekuasaan yang menggelora yang ada pada diri kader politik atau tokoh masyarakat. Apakah cara-cara ini akan diturunkan kepada generasi muda? Untuk memberikan pemahaman generasi muda tentang politik sangat penting diberikan pendidikan politik agar mereka dapat menentukan pilihannya dengan cerdas. Generasi muda mempunyai alasan memilih calon pemimpin bukan karena hasutan atau ikut-ikutan. Mereka memilih karena calon pemimpin tersebut mempunyai program yang jelas untuk memajukan bangsa dan negara ini. *Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum., Dosen Universitas Dwijendra