Soal Maskot Bangli, Dewa Palguna: Jangan Jadi Ajang Gagah-gagahan

(Dutabalinews.com), Pemegang kebijakan agar berhati-hati menentukan pilihan terkait maskot suatu daerah. “Maskot hendaknya tidak ditetapkan sebagai ajang gagah-gagahan. Namun paling tidak harus berfungsi sebagai edukasi, penyadaran, dan pembangkit semangat,” ungkap I Dewa Gede Palguna yang juga Hakim MK, Selasa (19/2) terkait maraknya perdebatan tentang maskot Bangli.

Wacana menjadikan bunga gumitir sebagai maskot Kabupaten Bangli oleh Pemkab Bangli mendapat tandingan. Pasalnya pendapat yang mengusulkan sekar padma (bunga teratai) sebagai maskot kabupaten yang berada di tengah-tengah Pulau Bali itu, ternyata juga mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat Bangli. “Bagus itu, bunga tunjung kan banyak fungsinya, banyak digunakan untuk sarana upacara. Memang lebih kaya filosofi dibanding dengan gumitir,” kata Wakil Ketua DPRD Bangli I Komang Carles. Meski demikian, ia mempertanyakan apakah sebuah maskot harus berupa bunga. Dinyatakan, ada banyak tanaman atau binatang khas Bangli dan bisa dijadikan maskot. Seperti Kopi Kintamani yang telah mendunia, begitu juga anjing Kintamani yang endemik Bangli.“Apa tidak bisa kopi atau anjing Kintamani dijadikan maskot? Menurut saya, ada baiknya untuk menentukan maskot dilakukan pengkajian atau inventarisasi semua potensi yang ada di Bangli. Namun, terkait maskot ini memang masih dalam tataran wacana dari Bupati (Gianyar) di media, belum ada pembahasan dengan DPRD Bangli,” jelas politisi asal Batur, Kintamani itu.

Sementara dari kalangan akademisi, mantan Rektor IHDN Denpasar Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si. menyatakan hal senada. Menurut akademisi yang juga berasal dari Bangli itu, sekar padma atau teratai memang layak dijadikan maskot. Teratai yang dalam bahasa Sanskerta disebut pangkaja (lahir dari lumpur) memiliki filosofi yang tinggi. Dia mampu hidup di tiga dunia, akar di tanah (lumpur), batang di air, dan bunga di udara. “Pangkaja itu stana Ista Dewata, di puja pada Surya disebut sweta pangkaja madyaste dan seterusnya (teratai putih di tengah-tengah.., red), cocok untuk Bangli yang berada di tengah-tengah (Pulau Bali) sebagai padma bhuwana. Kalau gumitir menurut lontar Aji Janantaka adalah jelmaan darah Batari Durga, tan wenang (tak boleh) untuk memuja dewa,” ucapnya.

Baca Juga :   Kemendikbudristek Galang Komitmen untuk Pulihkan Sektor Seni dan Kebudayaan Dunia melalui Pertemuan Pejabat Tinggi G20 Kebudayaan

Hal berbeda justru disampaikan I Dewa Gede Palguna. Hakim Mahkamah Konstitusi ini mengingatkan pemegang kebijakan agar berhati-hati menentukan pilihan. Suatu maskot hendaknya tidak ditetapkan sebagai ajang gagah-gagahan, paling tidak harus berfungsi sebagai edukasi, penyadaran, dan pembangkit semangat. Maskot, lanjutnya, hendaknya juga diharapkan selaras dengan simbol Pemkab Bangli yang sudah ada. Maskot maupun simbol harus bermakna secara filosofis maupun praktis.

“Saya belum punya referensi (tentang maskot). Kalau secara historis, bukankah Bangli konon dulu berupa alas jarak bang alias hutan jarak merah (ada pada lambang Pemkab Bangli, red)? Maka, harus tegas diferensiasi maskot dan simbol,” kata tokoh Bangli yang telah menjabat hakim MK sejak 2015 silam. Usulan penggunaan Sekar Padma sebagai maskot Bangli ini muncul dalam forum diskusi yang digagas DPK Peradah Indonesia Bangli, Bangli Sastra Komala, dan PC KMHDI Bangli bersama sejumlah elemen pemuda, komunitas, dan masyarakat akhir pekan lalu di Ruang Loka Sabha Sri Dana Diraja Lencana, DPRD Bangli itu. Usulan ini mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat Bangli, mengingat Sekar Padma dipandang kaya filosofis dan sejalan dengan kondisi ekoreligius Bangli yang sangat sentral bagi Bali. (ari)

Berikan Komentar