Global

Tanggul SMPN 3 Bebandem Jebol, Perlu Rekomendasi Kepastian Penanganan dan Pencegahannya

(Dutabalinews.com),Ketua Pelaksana Kegiatan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Eng. Asep Saepuloh ST M. Eng kembali melaksanakan Kegiatan Pengabdian Masyarakat di Karangasem (Bali) selama empat hari, tanggal 19 hingga 23 Juli 2023.

Selama ini, pihaknya sudah melakukan empat kali penelitian dan pengamatan dalam empat tahun yakni Tahun 2018, 2019, 2022 dan 2023 di SMPN 3 Bebandem, Karangasem, Bali. Program Pengabdian Masyarakat Skema Bottom Up ITB Tahun 2023 berjudul “Pengembangan Sistem Tanggap Bencana Dan Monitoring Aliran Lahar dan Erosi Sungai di Sekolah Siaga Bencana SMPN 3 Bebandem, Karangasem, Bali”.

Kegiatan itu diawali Focus Group Discussion (FGD) mengenai Kebencanaan dan Edukasi di Karangasem, bertempat di BPBD Karangasem, Kamis (20/7). Dengan mengundang Ketua Balai Wilayah Sungai (BWS), Kepala Dinas PUPR Karangasem, Kepala Dinas Pendidikan Karangasem, Kepala Dinas Sosial Karangasem, Kepala Pelaksana BPBD Karangasem, Kepala Dinas Perijinan Karangasem, Kepala Satpol PP Karangasem, Camat Bebandem, Korwil Pendidikan Bebandem,  Kepala SMPN 3 Bebandem, Perbekel Desa Bhuana Giri, Babinsa Desa Bhuana Giri, Bhabinkamtibmas Deaa Bhuana Giri, Ketua FPRB Karangasem, Kelian Desa Adat Bhuana Giri, Ketua Yayasan Bali Angel, Ketua Rotary Club of Bali.

Acara itu dihadiri oleh berbagai stakeholder, Kepala Pelaksana BPBD Karangasem, Tim Pengabdian Masyarakat dari ITB, Dinas Sosial Kabupaten Karangasem, Rotary Club of Bali Denpasar, Dinas Pendidikan Kabupaten Karangasem yang diwakili oleh Koordinator Disdikpora Kecamatan Bebandem, dan Guru SMPN 3 Bebandem.

Sambutan disampaikan Ketua Tim Pengabdian Masyarakat Dr. Eng. Ir. Asep Saepuloh., S.T., M.Eng dan Ketua BPBD Karangasem Ida Bagus Ketut Arimbawa, dilanjutkan dengan pemaparan materi dari enam pembicara dan sesi tanya jawab.

Menurutnya, SMPN 3 Bebandem sebagai salah satu sekolah yang ada di lereng Gunung Agung (Bali). Sekolah itu berada dalam Kawasan Rawan Bencana III Gunungapi berupa potensi bahaya dari awan panas, abu vulkanik, erosi, longsor dan lahar. Selain itu, sekolah tersebut memiliki potensi bencana hidrometeorologi.

Hasil visualisasi drone dapat diketahui bahwa material sungai di sekitar sekolah adalah gravel (natural w/sand) dan sand (dry/water filled) yang memiliki sudut runtuhan (repose of angle) 25°-30° yang bisa dihitung menggunakan rumus trigonometri.

Asumsi dengan menggunakan angka 30° sebagai sudut dinding sungai maksimum agar tidak terjadi erosi atau longsoran tebing sungai. Namun pada kenyataannya sudut tebing sungai yang melewati SMPN 3 Bebandem sudah 90° (tegak) sehingga berpotensi tinggi untuk longsor.

Baca Juga :   ​Mangku Pastika Beri Nama 'Putu Mandara dan Made Mandari' untuk Bayi Komodo yang Lahir di Taman Bali Safari 

“Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2018, 2019, dan 2022, diperoleh perubahan signifikan yang terjadi di area sekolah. Awal luas sekolah adalah 10.000 meter persegi pada tahun 2018 dan pada akhir tahun 2022 menjadi 9.338 meter persegi,” ujarnya.

Dengan menggunakan rumus kecepatan erosi lateral v = luas kedua area/selang waktu (t) (1) dimana v1 = (12.472-11.643)/11,2 = 74,1 m2/bln (tahun 2018 ke 2019=11,2 bulan) v2 = (11.643-9.338)/40,5 = 56,9 m2/bln (tahun 2019 ke 2022=40,5 bulan) v3 = (9.338-8.633)/6 = 117,5 m2/bln (tahun 2022 ke 2023=6 bulan). Maka diperoleh hasil kecepatan erosi lateral yang diperoleh antara tahun 2018 ke 2019 (jeda waktu pengamatan = 11,2 bulan) adalah 74,1 m2/bln, tahun 2019 ke 2022 (jeda waktu pengamatan = 40,5 bulan) adalah 56,9 m2/bln, dan tahun 2022 ke 2023 (jeda waktu pengamatan 6 bulan) adalah 117,5 m2/bulan.

Dari hasil perhitungan kecepatan rata-rata erosi diperoleh bahwa sekolah diperkirakan berpotensi tergerus dalam waktu kurang dari 10 tahun. Berdasarkan hasil analisis tersebut, terdapat tiga rekomendasi, yaitu rekomendasi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

Rekomendasi jangka pendek adalah penguatan Sekolah Siaga Bencana (SSB), seperti peningkatan kapasitas semua civitas sekolah, penyiapan rute dan evakuasi teraman dan tercepat, peningkatan kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman bencana dan menyelenggarakan simulasi evakuasi bencana secara berkala.

Rekomendasi jangka menengah yaitu merekayasa/penguatan infrastruktur sekolah, seperti normalisasi kemiringan aman lereng sungai, penguatan dinding sungai, dan kajian Teknik sipil untuk penguatan bangunan seperti retrofitting.

Selain itu juga dapat pula dengan melakukan rekayasa untuk pengurangan erosi vertikal akibat hidrolik arus air melalui pengurangan kemiringan aliran sungai serta pembuatan penahan erosi vertikal seperti sabo dam berjenjang. Sabo dam berjenjang dibangun untuk dapat menahan pasir namun mengalirkan air agar material yang ada tetap bertahan di posisi awalnya.

Sedangkan rekomendasi jangka panjang yaitu dengan cara merelokasi sekolah karena berdasarkan simulasi yang telah dilakukan, dimana kondisi tersebut sangat berbahaya untuk sekolah sehingga relokasi sekolah menjadi salah satu alternatif dalam jangka panjang untuk menanggulangi bencana tersebut.

Baca Juga :   Dharma Tula UGM, Rai Mantra Ajak Kuatkan "Sradha Bhakti" dan “Maguna Dusun”

Selain itu, Anggota Peneliti Dr. Edi Riawan., S.Si., M.T. membawakan materi Sekolah Siaga Bencana Hidrometeorologi di Karangasem. Dijelaskan fenomena cuaca ekstrem dapat didefinisikan sebagai fenomena, parameter, dan dampak yang dapat menyebabkan kerusakan pada infrastruktur, ekonomi, kesehatan, atau kehilangan nyawa.

Cuaca ekstrem tidak hanya diukur dari statistik frekuensi kejadian, tetapi juga dapat dari potensi kerusakan yang muncul. Salah satu jenis cuaca ekstrem di Indonesia yaitu hujan lebat dengan intensitas paling rendah 50 mm/24 jam dan/atau 20 mm/jam.

Menurut Aldrian dan Susanto (2003) pola curah hujan musiman di Bali yaitu pola monsunal dimana mengalami puncak pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Pola curah hujan harian di Bali terjadi bisa di siang dan malam hari (Mori dkk., 2004).

Berdasarkan data curah hujan dari BMKG Ngurah Rai selama 46 tahun (1972-2017) dapat diketahui bahwa pada tahun 1999 mengalami curah hujan ekstrem dengan intensitas sebesar 312 mm/hari. Selain itu, saat kejadian Oktober 2022 memiliki intensitas tinggi (P20%), dapat terulang lagi dan dapat lebih besar lagi.

Selain itu, laporan terbaru dari pihak sekolah pada bulan Oktober 2022 menyebutkan bahwa kondisi curah hujan yang tinggi di Karangasem saat ini menyebabkan debit sungai semakin tinggi sehingga proses erosi ke hulu semakin tinggi.

Hal itu mengakibatkan tergerusnya halaman sekolah dan meander sungai semakin dekat ke dinding bangunan sekolah akibatnya dapat meningkatkan aktivitas lahar dan menimbulkan potensi bencana baru yaitu hidrometeorologi. Ancaman bencana hidrometeorologi yang sering terjadi yaitu kekeringan, banjir, dan thunderstorm.

Pemaparan materi tersebut, dilanjutkan sesi tanya jawab berupa saran yang disampaikan I Nyoman Teguh Saputra dan rekomendasi oleh Ketua Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Karangasem I Gede Pawana.

Ketua FPRB Karangasem Pawana merekomendasikan agar SMPN 3 Bebandem  agar dibangun Sabo yang merupakan langkah yang lebih efektif dibandingkan dengan pemindahan sekolah. Fungsi sabo untuk memperlambat aliran dengan biaya yang tidak terlalu besar menjadi pilihan, karena pemindahan sekolah membutuhkan dana yang lebih besar.

Namun, hal ini menjadi pertimbangan jika luapan aliran mengarah ke TPA Desa Bhuana Giri sehingga harus segera diambil tindakan agar alur dari aliran sudah melewati titik awal. Harapan kedepannya adalah anggaran pemerintah cukup untuk melakukan proses pembetonan pada dasar dapat dilakukan dan dibuatnya bendungan-bendungan di sekitarnya.

Baca Juga :   Dugaan Korupsi di LPD Kekeran, Kejari Badung Tetapkan Tiga Tersangka

Asep Saepuloh pun mengungkapkan, Sabo dam bisa sebagai pilihan dengan memperhitungkan kedalaman sungai agar sabo tidak ikut longsor, selain penguatan-penguatan terkait kerentanannya akan dijelaskan lebih lanjut bagaimana kondisi hujan material yang di atas tersebut dapat turun, serta bagaimana dampak dan penyiapannya.

Berdasarkan hasil diskusi, rekomendasi yang paling efektif adalah Sabo dam. Namun, Sabo dam memiliki keterbatasan yaitu beda kemiringan antara hulu dan hilir yang semakin tinggi maka sabo dam yang dibuat harus cukup dalam agar tidak berpindah/tergelincir. Sabo dam dapat tergelincir jika kemiringan hulu dan hilir semakin tinggi dan jumlah air yang membawa material cukup banyak.

Selain itu, rekomendasi lainnya adalah Retrofitting (penguatan bangunan) sekolah. Retrofitting menjadi alternatif jika relokasi sekolah atau pengaturan aktivitas penggalian sulit untuk dilakukan. Hasil rekomendasi juga disampaikan kepada Kepala Sekolah SMPN 3 Bebandem I Made Wijana.

Pihak ITB sebatas menyampaikan hasil kajian dan beberapa rekomendasi saja. Keputusan penangangan dikembalikan kepada pihak yang terkait dengan mempertimbangkan semua aspek dengan baik. Meskipun demikian, faktor keselamatan sudah sewajarnya menjadi prioritas bersama untuk dikedepankan.

Pada kesempatan itu, pihaknya telah melakukan simulasi siaga bencana bersama warga SMPN 3 Bebandem, Sabtu (22/7). Kondisi fisik SMPN 3 Bebandem saat ini memiliki tanggul yang sudah roboh. Lalu kondisi aliran sungai yang deras ke arah bawah (hilir). “Harapan sebagai warga sekolah adalah mendapatkan rekomendasi untuk penanganannya dan pencegahan yang lebih pasti,” ujar Wijana.

Saat ini, terdapat 3 bangunan yang masih dikosongkan. Bangunan pertama terdiri dari 2 ruangan (R. Komputer) dan Lab IPA. Bangunan yang kedua adalah bangunan yang dimanfaatkan untuk R. OSIS dan penyimpanan alat kesenian. Bangunan ketiga di sebelahnya sudah di tutup total. SMPN 3 Bebandem terdiri dari 11 kelas dengan jumlah murid sekitar 300 siswa, sehingga perlu penanganan yang tepat dan segera. (ist) 

Berikan Komentar