Ramai Larangan Jarak Penjor 2,5 Meter: Tradisi Diganggu Modernitas atau Salah Paham Teknis?
(Dutabalinews.com), Setiap kali Hari Galungan tiba, Bali berubah menjadi bentang budaya yang memesona. Jalan-jalan dipenuhi penjor—tiang bambu melengkung yang dihias janur, umbi-umbian, sampian, dan ragam simbol kesucian. Bagi masyarakat Bali, penjor bukan sekadar dekorasi estetis, tetapi manifestasi rasa bakti kepada Sang Hyang Widi dan simbol kemenangan Dharma melawan Adharma.
Namun, belakangan muncul polemik mengenai penempatan penjor yang harus memiliki jarak minimal 2,5 meter dari kabel listrik, dengan alasan keselamatan. Sebagian masyarakat merasa aturan itu kurang memahami konteks budaya, sementara sebagian lain melihatnya sebagai bentuk adaptasi. Di balik diskusi tersebut, satu hal penting harus ditegaskan: penjor adalah tradisi leluhur yang telah berlangsung jauh sebelum jaringan listrik hadir, sehingga modernitas seharusnya menyesuaikan diri dengan tradisi, bukan memaksakan standarnya tanpa memahami makna budaya.
Makna Filosofis Penjor Galungan
Penjor memiliki filosofi mendalam yang melekat pada kehidupan spiritual masyarakat Bali:
-
Bambu melengkung melambangkan Gunung Agung, sumber kehidupan dan kesejahteraan.
-
Ubi-ubian, keladi, pisang, dan padi mewakili kemakmuran dan kesuburan bumi.
-
Janur kuning dan sampian melambangkan cahaya, ketulusan, dan rasa syukur.
-
Penjor sendiri adalah simbol noble path—jalan terang Dharma yang menuntun umat dalam kehidupan.
Dalam tradisi, penjor dipasang di depan rumah sebagai wujud syukur, perlindungan, dan pengingat bahwa hidup harus dijalani dengan keseimbangan antara spiritualitas, alam, dan manusia.
Dengan makna sedalam itu, penjor menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari identitas Galungan.
Mengapa Penjor Penting dan Harus Ada?
1. Identitas Sakral Galungan
Tanpa penjor, suasana Galungan terasa hampa. Penjor menjadi penanda visual bahwa umat sedang merayakan kemenangan Dharma.
2. Pengingat Hubungan Manusia–Alam
Penjor terbuat dari bambu, bahan alami yang tumbuh di tanah Bali. Ia mengingatkan umat tentang ketergantungan manusia pada alam serta kewajiban menjaga kelestariannya.
3. Simbol Keseimbangan Kosmis
Penjor adalah “penyangga energi positif” yang dipercaya menjadi tempat turunnya berkah pada hari suci.
4. Tradisi Leluhur yang Mengakar
Penjor telah hadir ratusan tahun sebelum listrik, jalan raya, dan bangunan modern. Keberadaannya ialah bukti bahwa tradisi adalah napas budaya Bali.
Polemik Jarak 2,5 Meter dari Kabel Listrik: Konflik Nilai atau Adaptasi?
Polemik muncul ketika instansi terkait mengimbau agar penjor dipasang dengan jarak aman dari kabel listrik. Kekhawatiran terkait kebakaran atau korsleting tentu memiliki dasar teknis. Namun, bagi masyarakat adat, penjor tidak bisa serta-merta dipandang sebagai hambatan instalasi listrik.
Justru persoalan ini memunculkan diskusi penting: Apakah tradisi yang sudah berusia ratusan tahun harus tunduk pada sistem modern yang baru hadir, ataukah modernitas yang harus belajar memahami ruang tradisi?
Pada titik ini, banyak tokoh adat, budayawan, dan warga Bali menegaskan bahwa persoalan bukan “tradisi melawan modernitas”, tetapi bagaimana modernitas memahami alam dan budaya, bukan menindasnya.
Modernitas yang Mengerti Tradisi, Bukan Sebaliknya
Penting untuk disadari bahwa:
-
Tradisi Bali, termasuk penjor, selalu lahir dari hubungan harmonis dengan alam.
-
Bambu tidak dipasang sembarangan—ia punya struktur, arah, dan waktu yang sakral.
-
Bukan penjor yang harus mengalah, tetapi infrastruktur modern yang perlu dirancang agar selaras dengan ruang adat.
Keberadaan kabel listrik yang melintasi pekarangan rumah, jalan desa, atau jalur penjor sebenarnya merupakan fenomena baru. Tradisi telah ada jauh sebelum itu. Maka, wajar jika banyak masyarakat menganggap tradisi tidak boleh dituding sebagai ancaman keselamatan.
Yang dibutuhkan bukan larangan, melainkan solusi:
-
Penataan kabel listrik yang lebih rapi dan ramah budaya,
-
Komunikasi antara desa adat dan instansi teknis,
-
Edukasi tentang teknik pemasangan penjor yang aman, tanpa menghilangkan makna.
Dengan cara ini, modernitas tidak menjadi kekuatan yang “meninjak alam”, tetapi hadir untuk menyokong keharmonisan antara adat, budaya, dan perkembangan zaman.
Penjor adalah Nafas Galungan
Pada akhirnya, polemik penjor dan kabel listrik mengajarkan bahwa Bali harus terus mencari jalan tengah. Tradisi tidak boleh diberangus atas nama modernitas, dan teknologi tidak harus dianggap musuh tradisi. Keduanya dapat berjalan berdampingan selama ada saling pengertian dan rasa hormat.
Penjor bukan sekadar hiasan. Ia adalah simbol kesucian, warisan leluhur, dan identitas budaya Bali.
Karena itu, hadirnya penjor setiap Galungan bukan hanya keharusan ritual, tetapi juga pernyataan bahwa Bali tetap setia pada akarnya—meski zaman terus berubah.
Dengan memahami makna penjor, masyarakat modern dapat belajar bahwa kemajuan tidak selalu berarti mengubah, melainkan menghargai apa yang sudah ada.
