Banjir Bali: Alarm Keras Retaknya Harmoni Alam dan Budaya
(Dutabalinews.com), Banjir yang kerap melanda Bali tidak lagi bisa dianggap sekadar fenomena alam musiman. Lebih jauh, banjir adalah cermin retaknya hubungan manusia dengan alam, sebuah tanda inharmoni yang semakin nyata.
Dalam filsafat Tri Hita Karana, keseimbangan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan sesama (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan) menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali. Namun kini, pilar palemahan tampak rapuh, bahkan sering diabaikan.
Eksploitasi Alam Tanpa Kendali
Manusia semakin agresif mengeksploitasi alam demi kepentingan jangka pendek. Bali yang dahulu dikenal dengan hamparan sawah bertingkat nan hijau kini berubah wajah menjadi lautan beton.
Sawah-sawah yang berabad-abad menopang sistem subak lenyap tergilas pembangunan vila, hotel, hingga pusat perbelanjaan. Hilangnya lahan resapan menyebabkan air hujan tidak lagi terserap tanah, melainkan meluap ke jalanan, permukiman, dan kawasan pariwisata.
Ironisnya, daerah yang dulu menjadi sumber pangan kini justru menjadi sumber bencana. Alih fungsi lahan tanpa kendali bukan hanya menggerus kearifan lokal, tetapi juga menjerumuskan Bali ke dalam siklus banjir tahunan yang merugikan masyarakat.
Sungai Suci Jadi Saluran Sampah
Lebih parah lagi, sungai-sungai yang dalam tradisi Bali dihormati sebagai bagian dari kesucian hidup kini diperlakukan layaknya tempat pembuangan. Limbah rumah tangga, sampah plastik, hingga sisa industri menumpuk dan menyumbat aliran.
Saat hujan deras turun, sungai meluap, membawa kotoran yang menggenangi rumah, jalan, hingga kawasan wisata. Pencemaran ini bukan sekadar masalah estetika, melainkan sumber penyakit, perusak ekosistem, dan penurun kualitas air yang menjadi kebutuhan vital masyarakat.
Sungai yang dulu simbol kehidupan kini berubah menjadi cermin kerakusan manusia.
Alarm Keras dari Alam
Tri Hita Karana mengajarkan bahwa keberlanjutan hanya mungkin tercapai jika keseimbangan dengan alam dijaga. Namun, banjir, kekeringan, dan tanah longsor yang makin sering terjadi adalah bukti telanjang bahwa keselarasan itu telah runtuh.
Alam seakan memberi peringatan keras: ketika manusia lupa pada palemahan, maka bencana menjadi konsekuensi tak terelakkan. Lebih jauh, krisis lingkungan ini tidak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga menggerus identitas budaya Bali. Apa artinya menjaga adat, upacara, dan simbol-simbol suci jika hubungan dengan alam sebagai sumber utama kehidupan dikhianati?
Menagih Kesadaran Bersama
Banjir di Bali harus dimaknai sebagai peringatan keras, bukan sekadar bencana musiman. Pemulihan harmoni dengan palemahan tidak bisa ditunda. Tata ruang harus dikaji ulang, hutan dan lahan resapan air harus dipulihkan, dan perilaku konsumtif masyarakat harus diubah.
Tanpa itu semua, Bali hanya akan menjadi pulau indah dalam brosur pariwisata, tetapi rapuh dalam kenyataan. Kesadaran ekologis bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Jika manusia terus membutakan diri terhadap kerusakan lingkungan, banjir hanyalah awal.
Bali bisa kehilangan bukan hanya kelestarian alamnya, tetapi juga roh budaya yang selama ini menjadi kebanggaan dunia.
Oleh: Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum.
